Senin, 17 Mei 2010

Komunitas Sastra Lembah Kelelawar

adalah komunitas yang ingin mengajak belajar menutup liang kubur dan mencipta surga tersendiri di dalamnya.

Setia Naka Andrian ingin selalu ada untuk komunitas sastra lembah kelelawar

Saya terlahir pada keluarga dan lingkungan yang jauh dari dunia sastra. Saya tidak tahu apa itu puisi, makanan apa sih puisi? Terbuat dari apa sih puisi? Saya tidak tahu sama sekali tentang puisi. Lalu seiring waktu yang terus berjalan dan membuat usia saya semakin bertambah, saya mulai sedikit-sedikit mengenal puisi. Saya mulai mengenal puisi ketika duduk di bangku sekolah dasar. Ketika saya masih duduk di bangku kelas 5 (lima) sekolah dasar, waktu itu saya ditunjuk untuk mengikuti lomba baca geguritan (puisi Jawa) tingkat kecamatan, mewakili SD N Penjalin, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal.
Sejak itu pula saya mulai mengenal sedikit tentang “apa itu puisi?” Waktu itu saya menyebut puisi adalah sebagai sebuah ungkapan hati yang ditulis dengan bahasa yang indah. Yang terangkai lewat kata-kata yang enak didengar dan mengandung makna yang dalam dari sang penulis. Hingga saat ini saya masih ingat betul tentang penggalan syair geguritan yang pernah saya baca waktu itu. “Ing pucuking wektu, kumudu kudu dak pilih laku, iki apa iku.” Bagi saya kata-kata itu mengandung arti yang sangat dalam dan masih terngiang hingga saat ini. Tentang seorang manusia yang harus mampu menentukan pilihan dalam hidupnya, karena dalam kehidupan pasti manusia akan dihadapkan pada berbagai pilihan yang harus dan wajib dipilih.
Sejak saat itu pula saya mulai menulis puisi, merangkai kata-kata tentang segala sesuatu yang saya alami pada waktu itu. Ketika saya duduk di bangku kelas 6 (enam) sekolah dasar, saya mulai mengenal cinta. Saya merasa mulai menyukai lawan jenis. Ada satu cewek yang saya suka pada waktu itu. Lalu saya mulai menulis puisi tentang cewek yang saya kagumi tersebut. Tapi dengan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Jawa tentang geguritan yang mengawali saya mengenal puisi. Karena mungkin bahasa Indonesia lah yang paling dekat dengan diri saya. Walaupun saya tinggal pada sebuah desa yang sebagian besar masyarakatnya pasti menggunakan bahasa Jawa.
Nah, ketika itu pun saya terus-terusan menulis puisi tentang cewek sekelas yang saya kagumi. Tertulis di buku-buku pelajaran, di meja dan kursi sekolah hingga sempat saya tulis di celana seragam sekolah. Alasan saya menulis puisi tersebut karena saya belum berani mengungkapkan isi hati saya terhadap cewek yang saya kagumi tersebut. Entah kenapa dan masalahnya apa saya juga kurang begitu mengerti. Memang cewek itu merupakan seorang cewek yang selau berlangganan peringkat pertama sejak kelas satu sekolah dasar. Saya sempat menjadi peringkat dibawahnya, ketika saya dan cewek tersebut duduk di bangku kelas dua. Tapi seiring dengan kenaikan kelas saya menuju ke kelas yang lebih tinggi, maka semakin merosot pula peringkat/ rangking prestasi saya. Mungkin karena semakin nakal dan semakin jarang belajar karena lebih banyak bermain dari pada membuka buku pelajaran.
Setelah saya berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP), tepatnya di SMP N 2 Brangsong, saya mulai lebih mengenal apa itu puisi. Karena saya mendapat materi puisi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya terus menulis puisi, bukan karena tugas yang diberikan dari guru tentang tugas menulis puisi, tapi memang kemauan saya sendiri untuk menulis puisi. Mungkin masih sama alasannya kenapa saya menulis puisi, masih sama ketika masih di bangku sekolah dasar. Ketika saya tidak berani mengungkapkan sesuatu secara langsung, maka saya tulis kegelisahan tersebut dalam sebuah puisi. Tapi saat di bangku SMP, saya tidak lagi hanya karena masalah saya ketika tidak berani mengungkapkan perasaan kepada cewek yang saya suka, tetapi juga luapan hati saya kepada orang tua ketika saya dilarang melakukan sesuatu yang saya suka, ketika saya dimarahi ibu karena terlalu banyak bermain dan bandel karena jarang tidur di rumah. Juga kegelisahan saya ketika di sekolah, tentang ketidaksepahaman saya terhadap aturan-aturan sekolah dan keseringan saya mendapat marah setiap pagi karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah/ PR.
Pada waktu SMP, menulis puisi sudah menjadi makanan keseharian dan sudah menjadi menu utama. Walaupun tidak pernah mengikuti lomba-lomba menulis puisi. Entah pada waktu itu tidak ada lomba atau mungkin karena guru saya tidak tahu kalau saya suka menulis puisi. Tapi saya selalu aktif mengirim puisi-puisi saya ke mading sekolah, dan kebetulan setiap saya mengirim, puisi-puisi saya selalu diterbitkan dan di pajang dalam majalah dinding sekolah. Mulai saat itu pula banyak teman-teman yang tahu kalau ternyata saya suka menulis puisi. Walaupun puisinya pun nggak karuhan, bahkan sangat jelek, tapi pada saat itu kelihatannya teman-teman mulai menyukai puisi-puisi saya. Ada juga sebagian teman-teman saya yang meminta untuk dibuatkan puisi, yang katanya ingin dikasihkan kepada cewek. Waktu itu pun saya sangat berhutang budi dan merasa tertolong oleh puisi. Karena saya memberanikan diri untuk menembak cewek dengan bantuan runtutan kata-kata dari sebuah puisi yang saya ciptakan, dan akhirnya juga saya mendapatkan cewek tersebut. Yah, walaupun tidak bertahan lama.
Ketika saya duduk di bangku SMA, tepatnya di SMA N 2 Kendal, kebiasaan menulis puisi masih melekat erat pada diri saya. Kata-kata dan tema yang saya ungkapkan pun menjadi semakin melebar. Dari yang tadinya waktu SD hanya membahas tentang cewek yang saya kagumi dan tak berani mengungkapkannya, dari yang pada saat SMP terlalu sering dimarahi guru dan orang tua, lalu pada waktu SMA saya sudah merambah pada tema yang menyangkut tentang hidup, agama dan ajaran Tuhan serta tuntutan-tuntutan Tuhan terhadap manusia dan juga janji-janji Tuhan.
Sehingga pada waktu saya duduk di bangku kelas 2 (dua) SMA, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia melihat puisi saya, lalu beliau menyukai puisi tersebut dan akhirnya puisi-puisi saya di kirim ke majalah sastra Horison. Akhirnya pun dua puisi saya masuk pada kakilangit majalah sastra Horison edisi XXXXI tahun 2006 dengan membawa nama SMA N 2 Kendal. Puisi saya berjudul “Sesal Kubur” dan “Mengilhami Arti Pagi”. Walaupun puisi yang berjudul “Mengilhami Arti Pagi” tertulis sebagai karya teman sebangku saya, karena mungkin pada waktu itu saya kurang tahu betapa besar arti dari sebuah karya.
Pada waktu kelas 2 (dua) SMA itu pula, kali pertama saya menulis sebuah naskah drama “Otak Generasi Muda”. Saya menyuteradarai serta menjadi salah satu aktornya. Ketika saat itu ada materi drama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan mendapat tugas menyajikan pementasan drama. Walaupun pada waktu SMA saya tidak mengikuti ekstra kurikuler teater, tetapi saya tetap semangat dan kerja keras dan yakin untuk menulis naskah sendiri, menyuteradarai dan menjadi salah satu aktornya. Dalam pementasan drama tersebut pun terdapat pembacaan puisi karya saya yang berjudul “Limbah Demokrasi”. Dan pada waktu SMA, puisi-puisi saya kerap masuk dan diterbitkan di majalah Ganesa Kabupaten Kendal.
Setelah lulus SMA, saya masuk di perguruan tinggi swasta IKIP PGRI Semarang, tahun 2007. Di kampus tersebut saya bergabung dengan Teater Gema. Di situ saya pernah melakukan sebuah penggarapan teater dalam lakon “Hayalan Padang Tandus”, saya menulis naskah tersebut dan menyuteradarainya. Juga pernah saya melakukan sebuah penggarapan teater dalam kelas yang merupakan tugas mata kuliah, dalam lakon “Negeri Topeng” yang kebetulan naskah dan suteradaranya saya sendiri.
Di kampus IKIP PGRI Semarang, keinginan dan kemauan keras saya untuk terus menulis semakin menggebu-gebu. Saya bertemu dengan orang-orang yang sangat berarti bagi diri saya pribadi. Orang-orang yang selalu memberi semangat dan dukungan terhadap saya. Termasuk dosen saya dan sastrawan serta seniman-seniman yang ada di Semarang. Di kampus ini pun saya mendirikan sebuah komunitas sastra kecil-kecilan, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar. Sehingga saya semakin semangat dan semakin menggandrungi dunia tulis. Hingga puisi-puisi saya sering di muat di koran Suara Kampus IKIP PGRI Semarang, cerpen saya di majalah Vokal IKIP PGRI Semarang. Serta saya pernah mengikuti Lomba Penulisan Karya Sastra SELEKDA (Seleksi Seni Tingkat Daerah) BPSMI Jawa Tengah mewakili IKIP PGRI Semarang. Puisi saya berjudul “Pengajian”, juara 1 menulis puisi Kajur dan HIMA PBSI IKIP PGRI Semarang, Desember 2008, juara 2 menulis cerpen Kajur dan HIMA PBSI IKIP PGRI Semarang, Desember 2008 dan finalis 20 besar g-Mag Presents Telkomsel Writing Awards 2009 - Cerpen Asik, dan cerpen saya yang berjudul “Bukan Jelmaan Adam” yang merupakan karya dari 20 besar finalis dibukukan dalam antologi cerpen “Bila Bulan Jatuh Cinta” penerbit Gradasi Semarang.
Saat ini, tulisan menjadi salah satu bagian dari hidup saya. Merupakan sebuah catatan sejarah hidup saya pribadi dengan orang-orang yang saya cintai, catatan bersama teman-teman saya, orang tua, keluarga, serta kehidupan masyarakat dan juga agama saya, hingga catatan keadaan sosial budaya bangsa dan negara Indonesia.
Setiap kata yang saya tulis saya anggap mempunyai sebuah kekuatan. Memiliki keberadaan yang nyata dan menggembol alasan yang kuat. Dari kata tersebut, lalu berjalan menuju frasa, kalimat, bait, hingga pada sebuah kesatuan tulisan yang utuh. Entah itu puisi, cerpen ataupun naskah drama yang kerap saya tulis. Yang tidak pernah luput dari sebuah pemadatan kata.
Dalam menulis, saya tidak pernah berpikir panjang untuk mengawali sebuah tulisan dan mencari sebuah ide untuk memulai menulis. Yang saya lakukan adalah membunyikan kata, frasa atau kalimat, dan memuntahkan dengan tulus ikhlas kata-kata yang keluar dari hati. Dalam istilah Jawa “Ceplas-ceplos atau clemang-clemong”. Lalu saya perkosa kata-kata itu, hingga terangkai menjadi frasa, kalimat, hingga akhirnya menjadi sebuah kesatuan tulisan yang utuh. Tulisan yang telah melewati sebuah pengendapan dan perenungan.
Saya merupakan seseorang yang suka menulis tetapi tidak begitu suka membaca. Bagi saya membaca adalah melihat keadaan sekeliling saya. Menikmati susah dan senang hidup, merekam segala fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar saya. Sesuatu yang saya rasakan dan sesuatu yang benar-benar saya lakukan, saat saya merasa risau dan gelisah tentang suatu hal dan kejadian yang menimpa diri saya, orang yang saya cinta, orang tua, teman-teman, agama serta sesuatu yang terjadi pada bangsa dan negara ini.
Menulis bagi saya adalah ketika saya merasa tidak puas terhadap sesuatu yang saya dapatkan dalam alam nyata, lalu saya berlari menuju alam hayal, menjadi penguasa dan melampiaskan segala-galanya tentang sesuatu yang hendak saya gapai. Ketika dalam alam nyata saya masih belum merasa puas dan masih selalu kalah. Dan yang terpenting bagi saya, menulis adalah “pakai hati tetapi jangan sampai dimasukkan ke hati.”




Setia Naka Andrian

Meraba Langkah Kreatif [Setia Naka Andrian]

Meraba Langkah Kreatif
Setia Naka Andrian

Mengawali sebuah langkah memang tidak mudah. Pasti akan dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan yang membuat langkah kita menjadi tersendat, terhenti sejenak, bahkan terkadang hingga berhenti total dan tak dapat melangkah. Memang ada kalanya kita terasa kehabisan akal untuk memulainya. Merasa kurang saat mendapatkan sesuatu. Tapi juga kadang kita menggebu-gebu hingga selalu bermunculan ide-ide yang menghentak-hentak hingga semua termuntahkan tanpa batasan-batasan. Nah, bila itu terjadi ada kalanya pula belum tentu ide/ pemikiran yang kita dapatkan dapat menjadi sebuah pemikiran yang cemerlang dan kreatif.
Dalam hal ini, kita tidak boleh hanya diam, hanya menuangkan saja tanpa melewati pengendapan dan perenungan. Maka kita harus mampu menggugat setiap ide-ide yang kita tuangkan tadi. Misalnya dengan melakukan sebuah pembahasan karya/ diskusi kecil-kecilan. Nah, dari itu kita akan mendapatkan semacam pencerahan untuk sedikit menggugat tentang pemikiran/ ide-ide yang kita tuangkan tadi. Jadi tidak semata-mata kita muntah lalu membersihkan muntahan tadi bila telah mengotori lantai atau baju.
Ibaratnya orang muntah tadi, pasti akan terlihat makanan-makanan yang telah kita makan sebelumnya. Entah itu es cendol, bakso, nasi goreng dan makanan-makanan kecil lainnya. Sehingga kita dapat mengupas tentang apa yang telah kita tuangkan benar-benar sebanding dengan apa yang telah kita dapatkan dan yang terekam dalam otak. Entah itu yang diperoleh dari buku-buku tua peninggalan jaman perang Majapahit, entah itu dari buku sisa jaman kolonial Belanda atau mungkin tentang sesuatu yang terekam oleh mata serta yang dialami tiap-tiap individu.
Banyak hal yang dapat kita lakukan dalam penemuan-penemuan ide/ pemikiran cemerlang. Tentunya kita harus yakin terlebih dahulu tentang apa yang akan kita lakukan. Lalu kita membawanya menuju pemahaman yang wajar dan standar dari apa yang kita miliki. Mustahil rasanya bila berpikir muluk-muluk tapi ternyata yang kita tuangkan menjadi sebuah gagasan yang di cap ora karuwan oleh orang-orang yang kita anggap tua atau mungkin yang dituakan dalam bidangnya. Nah, kita perlu berpikir realistis sebagaimana berbalut pada hal-hal yang kita sadari, kita yakini, dan tentang hal-hal terdekat di sekeliling kita. Jadi nggak usah berpikir jauh-jauh sampai nembus langit dan nendang bintang, nanti malah tambah kerepotan lagi ketika mikir ingin turun. Malah bakal tambah lebih sakit bila mungkin nanti terjatuh. Jadi ya sebaiknya kita tuangkan sesuatu yang paling dekat dengan mata kita, hal yang paling kita mengerti dan yang paling akrab pada diri kita.
Memang ada kalanya juga kita harus berpikir jauh. Misalkan tentang kegelisahan-kegelisahan tentang suatu hal yang dianggap tidak masuk akal. Tentang ajaran-ajaran agama yang dirasa kita membingungkan. Lalu kita mencoba untuk mencari jalan keluar untuk mencapai sebuah kebenaran tertentu tentang keberadaan tersebut. Jadi ya semua sah-sah saja. Semua tergantung pada niat dan kehendak. Yang terpenting adalah berani memulai dan berani melangkahkan sedikit demi sedikit walaupun hanya sejengkal.
Nah, ada lagi. Ukuran estetika juga perlu diperhatikan. Ini merupakan sebuah terasi pada beraneka macam sambal. Karena ada rasa tersendiri atas kehadiran terasi tersebut. Kurang bila tanpa itu. Sama halnya ketika menuangkan sesuatu hal, kita wajib memikirkan nilai estetika. Karena tanpa ukuran estetika, sesuatu yang kita tuangkan nampak tak memiliki rasa. Kekuatannya seakan terabaikan bila nilai satu ini tidak diikutsertakan. Dan mungkin akan jadi bahan cemoohan. Walaupun disamping itu kita juga harus memikirkan tentang gagasan dan tema yang akan kita tuangkan.
Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan? Bergegas cuci kaki tangan dan mengelap muka lalu tidur? Ataukah kita akan mengelelawar dan menjadi penguasa malam atas kehendak-kehendak aneh serta kegelisahannya?
Yah, yang terpenting ya kita harus berani dan rela mati-matian saja untuk terus berkarya. Kalau kita sudah benar-benar yakin dan merasa ingin berjalan pada dunia gores-menggores ini. Kata orang, ibaratnya kalau sudah terlanjur basah setengah badan ya nyebur saja biar basah semua. Tapi bagi saya pribadi ya mending jangan nyebur, bukannya takut air atau pemalas mandi. Mending kita siapkan perahu untuk berlayar diatas air tadi, lalu kita akan melihat orang-orang yang serba kebasahan. Kita paham tentang air itu, kita tetap akrab dengan air itu, tanpa kita harus nyebur dan serba kebasahan.
Intinya ya bekerja cerdas, bukan bekerja keras.