Jumat, 16 Juli 2010

[Meja cerPen #2] Percakapan Bulan dan Bidadari

Percakapan Bulan dan Bidadari
karya: Tri Umi Sumartyarini

Namaku Roro Ayu Hapsari. Dulu, sewaktu kecil Eyang Putri sering mendongengi aku bermacam-macam cerita. Lalu, kala Ia kehabisan bahan cerita, nama ‘Roro Ayu Hapsari’ ku tak luput menjadi judul dongengnya.
“Roro Ayu Hapsari, berbahagialah engkau bocah yang memiliki nama ini,” celoteh Eyang seraya mengelus rambut panjangku.
“Kau tahu? Roro itu artinya pewaris darah biru keraton Mangkunegaran byang ke…..”
Bukan sekali, dua kali Ia lontarkan tentang asal mula nenek moyangku masih keturunan keraton yang kesekian. Entahlah aku lupa.
Berkali-kali Eyang membanggakan sanak saudara kami yang masih berdarah biru, aku tidak begitu menghiraukannya. Karena sampai sebesar ini belum pernah sekalipun kukunjungi keraton tempat cikal bakal darah dagingku dilahirkan.
Satu-satunya tanda bahwa keluarga kami adalah keturunan keraton adalah sebuah foto berbingkai ukiran kuno tergantung di ruang tamu. Di dalam foto itu tergambar perempuan-perempuan bersanggul dan berkebaya sedang berjajar. Di antara para perempuan itu tampak seorang lelaki mengenakan pakaian kebesaran. Sepertinya pakaian raja. Entahlah.
“Aye….ya,, Ayu… tak salah lagi Romomu member nama kau Ayu. Harapannya agar parasmu ayu. Kulitmu kuning langsat, bangkekan nawon kemit, alis nanggal sepisan, untu miji timun, driji mucuk eri, irung…..”
Bla…bla…bla… ah benar-benar sebal aku dicondro seperti itu. Bukan tanpa alasan. Eyang Putri akan menghardikku jika aku pulang bermain dengan warna kulit coklat kehitaman terbakar matahari.
“Ayu! Kau jadi tidak ayu lagi! Kulitmu oh kulitmu hitam terbakar seperti ini! Lelaki mana yang mau menjadi suamimu kelak? Cah wedok ireng jalitheng!”
Lalu, aku tidak diijinkan keluar rumah. Mengunciku di dalam kamar agar aku tidur siang, bermimpi tentang puteri-puteri keraton yang yang menyibukkan diri dengan mempercantik tubuh supaya dijadikan permaisuri sang raja. Kemungkinan paling buruk menjadi selir.
Tapi aku bukan tipe bocah perempuan yang manut dhawuh. Kubuka saja jendela kamar. Menebarkan langkah menuju teman-teman kampung yang lain.
“Hapsari, bocah ayu, itu artinya kecantikanmu menandingi bidadari-bidadari di surga. Maka dengan kecantikanmu itu kau layani suamimu hingga Ia berkata ‘aku sudah puas’. Meskipun kau bidadari, malaikat akan melaknatmu jika suamimu minta dicumbu dan kau tidak mengabulkannya. Peliharalah kesetiaanmu. Niscaya suamimu tidak akan berpaling pada bidadari yang lain. Kalau pun hal itu terjadi, kuatkanlah hatimu. Niatkan jiwa dan ragamu sebagai pengabdian abdimu kepada Tuhan. Suamimu pun boleh menamparmu jika kau berani padanya. Jangan kau tantang suamimu itu. Kalau kau menentangnya, surga akan menjauhi bidadari dari jenis ini.”
Biasanya ketika dongeng sampai pada babak ini, aku sudah mendengkur, mengurai mimpi-mimpi indah di alam lain. Bertanya pada bidadari-bidadari benarkah menjadi bidadari harus menjadi yang Eyang Putri ceritakan.
Namun, dongeng Eyang tidak berhenti ketika aku sudah mulai terlelap. Dongeng akan berlanjut ketika Romo pulang dari kantor dan Ibu menjalankan kepatuhannyauntuk Romo. Ibu akan menyambut Romo di depan rumah, membawakan tas Romo ke dalam, membuatkan secangkir teh manis hangat, dan menyiapkan air hangat untuk mandi. Pada saat seperti inlah waktu yang tepat bagi Eyang meneruskan petuah-petuahnya di alam sadarku.
“Ibumu contoh nyata, Roro Ayu Hapsari. Dialah bidadari itu. Malaikat tidak berani melaknatnya.”

****

Menginjak usia 17, Eyang Putri masih setia mendongengi aku bermacam-macam cerita. Suatu malam ketika aku sedang duduk di bale bambu depan rumah, Eyang Putri menghampiriku. Masih seperti dulu. Ia selalu mengusap rambutku. Membelai pipiku yang mulai ditumbuhi jerawat karena hormon perempuanku sudah mulai menjalankan fungsinya.
“Kau kurang menjaga parasmu, Ayu. Jerawatmu mulai tumbuh disana-sini. Kau tidak cantik.”
Senyuman kecut meriut dari bibirku. Aku diam. Malas menanggapi cemoohan Eyang. Aku lebih tertarik bercumbu dengan cahaya bulan yang berpendar indah menyirami bumi.
“Wanita jawa itu bangkekannya harus nawon kemit. Tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu lebar. Di antara dada dan panggul harus ada lekukannya. Pinggulmu itu, Ayu, lebar tapi tidak ada dagingnya. Buruk pinggulmu itu,” Eyang memegang pinggulku. Lalu menarik kaos oblongku ke belakang hingga membentuk lekukan tubuh.
Masih seperti tadi. Aku tidak tertarik menaggapi aturan-aturan Eyang. Bagiku cahaya bulan terlalu sayang dilewatkan mala mini.
“Dulu, sewaktu kamu masih kecil, kau tak ubahnya kuncup bunga yang sedang menikmati awal keberadaanmu di bumi. Kau masih asyik menimati udara, debu, air, dan sinar matahari. Kuncup bunga masih dibiarkan bergelayut pada tangkainya. Belum ada yang tertarik memperhatikanmu. Keindahan belum muncul pada kuncup bunga.”
Angin berdesir sepoi mengurai satu persatu kata-kata yang baru saja terucap dari bibirnya. Setelah itu hany agetir yang kurasakan. Angin sepoi itu terlalu jauh mengaburkan makna ucapan Eyang.
“Sekarang kau gadis 17 tahun. Kau adalah setangkai bunga yang sedang mekar. Inilah waktumu untuk menebarkan wangi dan menunjukkan keindahan warnamu kepada kumbang. Rawat tubuhmu sebelum kau menyesal, Ayu. Percantik dirimu. Kumbang tidak akan singgah pada bunga yang warnanya kusam.”

Bulan tertutup awan. Cahaya berpendar berganti gelap. Angin masih saja menggoda membelai rambut. Entah dari mana keinginan itu datang. Kali ini aku tertarik menaggapi celotehnya. Sinar bulan tak kuhiaukan lagi. Mataku menatap mata senja Eyang.
“Eyang, aku Roro Ayu Hapsari. Aku tidak bersedia menjadi bunga. Apalah arti sebuah kecantikan kalau hanya karena isapan kumbang akan layu. Apa salahnya jika Ayu ingin menjadi kumbang. Aku bias bebas terbang ke mana saja memilih bunga-bunga mana yang ingin Ayu hinggapi. Aku berani berkeputusan atas diriku…”
Bulan kembali berpendar. Awan menyingkir dari lingkaran cahaya. Aku kembali menikmati cahaya bulan penuh.
“Jangan keras kepala kau Roro Ayu Hapsari. Kau ini wanita. Daya apa yang bias dilakukan wanita kecuali menjadi abdi suami. Lelaki yang berhak memilih kita, camkan itu Ayu! Ini sudah menjadi kuasa alam. Kau akan terkena adzab kalau melanggar kuasa ini. Jangan sekali-kali kau berbicara seperti itu lagi. Bias berbuah bendu. Kau ini tulang rusuk Adam! Racun apa yang telah mengotori otakmu itu?! Jangan-jangan setumpuk buku di lemarimu itu. Aku akan mengadu kepada Romomu!”
Mata senja itu berganti dengan nyala apiyang berkobar. Dari mulutnya keluar serapah yang membuatku tercengang-cengang.
Eyang masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku dalam ketakberdayaan. Tak kusangka, Eyang akan semarah ini padaku. Dari dalam terdengar suara Eyang berteriak-teriak mengadu pada Romo. Dari bale bambu depan rumah, aku melihat bayangan Romo, Ibu dan Eyang masuk ke dalam kamar. Buku-buku tentang perempuan dikeluarkan dari kamar. Dibakar di belakang rumah. Asap membubung. Mengeluarkan aroma abu kertas.
Tidak banyak yang kulakukan malam itu. Aku hanya mengadu pada bulan yang mungkin tersenyum atau mencercaku. Ah… aku tak peduli. Aku masih di sini menikmati bulan, angin dan malam yang semakin larut. Setetes air mengalir dari sudut mataku.
***
Dua bulan sejak Eyang, Romo, dan Ibu membakar buku-buku perempuanku, Eyang meninggal dunia karena stroke. Walaupun sering menceramahiku dengan segala petuahnya, aku tetap sayang kepada Eyang. Aku selalu berusaha menaruh hormat padanya.
Dua tahun berlalu sudah. Kini aku duduk di bangku kuliah. Selain sibuk kuliah, kegiatanku lainnya adalah bergabung dengan sebuah LSM yang bergerak pada perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Romo dan Ibu bukan tidak tahu atas kesibukanku. Mereka lebih memilih pasrah dan membiarkan keputusanku. Sepertinya mereka lebih lunak disbanding Eyang. Toh, aku juga bertanggung jawab atas semua kegiatan yang telah kupilih. Setiap akhir semester aku berusaha mempersembahkan IP (Index Prestasi) terbaik untuk mereka.
Besok adalah hari keberangkatanku menuju Inggris. Nasib baik berpihak padaku. Aku terpilih sebagai salah satu peserta pertukaran mahasiswa yang diselenggarakan oleh kedutaan besar Inggris.
Sebelum hari keberangkatan, aku memutuskan ziarah ke makam Eyang. Setelah kubacakan tahlil dan Yaa sin, kutaburkan sekeranjang bunga di atas pusara makam Eyang. Aku jadi ingat peristiwa dua tahun yang lalu, peristiwa perdebatan tentang bunga dan kumbang.
Aku tersenyum. Dalam hati aku bergumam, “Eyang, ni cucumu Roro Ayu Hapsari. Aku tetap cantik meskipun aku kumbang. Aku masih tetap tidak bersedia menjadi bunga. Biar bunga ini saja yang tetap menjadi bunga. Keyakinanku untuk tetap menjadi kumbang menerbangkan aku ke Inggris besok. Ayu semakin yakin. Menjadi perempuan bukan berarti harus menyandarkan keputusan kepada lelaki. Yang lebih mengetahui atas perempuan adalah perempuan sendiri. Bukan suami maupun malaikat. Jangan khawatir tentang laki-laki yang akan mendampingiku, Eyang. Ayu sudah mempersiapkan laki-laki yang punya dua tangan serta dua kaki utuh. Maka dia tidak akan berteriak-teriak atau mengancam akan memukul istrinya jika sedang tidak bias melayani. Dan yang terpenting, Eyang. Laki-laki ini punya hati nurani. Dia akan berbicara menggunakan hati nuraninya ketika sang istri tidak bersedia mencumbunya. Dia akan bertanya mengapa istrinya tidak bersedia mencumbunya malam itu dengan hati nuraninya, bukan dengan ketololan, kesempitan dan keegoisan pikirannya. Kami berdua adalah kumbang. Tidak ada bunga diantara kami. Bunga bagi kami adalah mimpi-mimpi yang akan dihinggapi bersama-sama. Kami akan menikah setiba dari Inggris setahun mendatang. Mohon doa restunya. Doaku selalu menyertai Eyang.”
Rerumputan bergoyang diterpa angin. Aku beranjak dari makam Eyang, bergegas pulang. Seorang laki-laki pemilik hati nurani itu berdiri tepat di depan pintu makam. Dialah kumbangku. Menyambut dengan sayap-sayap kecilnya. Lalu, sayap-sayap kecil kami pun terkepak menuju cahaya mentari senja.