Rabu, 26 September 2012

Cerpen yang dibibirkan dalam Meja Cerpen #5

Tikus Oleh M. Rifan Fajrin Malam pecah. “Tikus!” Amy memekik gusar. Ia menyambar sapu lidi. Munajat di malam sepi harus sejenak tertunda. Padahal ia sudah sempurna mengambil wudhu. Dikejarnya tikus yang nyaris menabrak kakinya, dan hampir saja membuatnya jatuh terpeleset. “Hans!” “Jangan berisik, Amy. Nanti Erika terbangun. Beberapa hari ini ia tidur tak pernah nyenyak sepertinya.” Memang, tikus tak pernah mengusik ritual munajat Amy di malam sunyi. Hanya saja, ia selalu datang setiap Amy selesai mengambil wudhu. Dan yang membuat Amy geram, tikus itu selalu menghilang setelah Amy memergokinya melintas. Termasuk malam itu. Lalu, setiap kali Amy hendak mengambil pakaian sekolah Erika, ia selalu mendapati lemari pakaian anak gadisnya itu dengan isi berantakan karena diusik tikus. “Hans, kau tak pernah peduli!” Hans sendiri, sejak kecil telah terbiasa akrab dengan tikus. Tetapi kepahitan masa lalu memang selayaknya dalam-dalam terkubur. Biarkan saja ia menjadi bangkai, yang baunya tentu saja lebih menjijikkan daripada kepahitan itu sendiri. Begitulah. Dan memang berbeda dengan rumahnya sekarang, rumahnya dahulu tak seindah dan sebersih sekarang. Rumahnya yang dahulu hanya berdinding papan dan berlantaikan tanah. Sepertinya tidak terlalu menjadi persoalan jika di malam hari beberapa ekor tikus menerobos masuk ke rumahnya. Berbeda dengan rumahnya sekarang, yang berdinding tembok dengan cat serba putih, dan berlantaikan keramik. “Rumah yang mewah terkadang memang membikin kita repot,” Hans berkilah, “setiap waktu kita harus memastikannya untuk selalu bersih. Cobalah untuk bersahabat dengan binatang, Amy!” “Aku sungguh tak tahu apa yang ada di kepalamu, Hans! Jika kau sanggup bijaksana untuk menyayangi binatang, lalu mengapa kau tak pernah benar-benar menyayangi Erika?!” Amy melangkah. Begitu saja ia membuang sapu lidinya. “Lalu, kenapa kau mau menikahi aku kalau begitu?” Amy menceracau, dan memutuskan untuk mengambil air wudhu kembali. Selalu saja seperti itu. Dan Hans kembali mendengkur. Sementara Erika, seperti yang sudah-sudah, mulai menggeliat. “Mama, apakah nanti aku bisa untuk tidak terlambat ke sekolah?” Gadis kelas dua sekolah dasar itu mengucek-ucek mata kecilnya. “Tentu, jika kau mengambil pakaianmu sekarang, serta jika Ayahmu mau mengantarmu dan bangun lebih awal, Erika.” “Baiklah, Mama.” Lalu Erika beringsut dari tempat tidurnya. Pagi itu ia memulai untuk terbiasa mandi setelah bangun tidur. Gemerincing suara air tak membuyarkan khusyuk Amy berdiri. Ia benar-benar bermunajat. Air matanya menetes. Untuk kali ini, ia menyelipkan doa khusus: Enyahlah tikus sialan, dan enyahlah ketakpedulian Hans! Ya Tuhan, aku menyayangi Erika... “Mama...” Doa tersendat. Amy menghapus bulir air mata di pipinya. Dagunya masih basah. Ia menoleh. Dilihatnya Erika yang masih terbalut handuk telah berdiri di belakangnya. “Ada apa, sayang?” “Tikus kembali mengacak-acak lemari pakaianku, Mama.” Amy memeluk Erika. Justru ia yang terisak. Sementara Erika, di antara rasa kecewanya, ia mulai merasa kedinginan. *** Pernah Amy menukar isi lemari Erika dengan milik Hans. Akan tetapi tetap saja, tikus itu selalu menyerang pakaian Erika. Pernah pula Amy berusaha memasang perangkap dan racun tikus. Namun nihil. Semua perangkap dan racun itu sepertinya tak pernah tersentuh. Oh, Tuhan! Apa yang salah dari semua ini? Bukankah pakaian mereka terbuat dari bahan yang sama, atau, baiklah, terbuat dari bahan yang tak jauh beda? Semua pakaian di rumah ini dicuci dengan mesin yang sama. Kemudian disetrika dan diberi pewangi pakaian yang sama? Lalu, mengapa pakaian Erika yang menjadi sasaran tikus jahanam itu? Ini benar-benar membuat Amy hampir gila. “Apakah aku perlu memiliki seekor kucing? Ya, bukankah kucing adalah pemburu nomor satu?” sering sekali dalam sendirinya Amy bergumam. Oh, ya, bukankah Hans pernah bilang, bahwa aku harus lebih bisa bersahabat dengan binatang? Barangkali seperti itulah maksud Hans. Bahwa sesuatu yang alamiah, harus diselesaikan dengan cara yang alamiah pula. “Apa maksudmu aku harus lebih berakrab-akrab dengan binatang, Hans?” “Kamu tidak tahu maksudku, Amy? Kau bodoh sekali,” cetus Hans. Mengejek. “Jangan memojokkanku. Katakan saja, apa maksudmu?!” “Kau harus tahu kebiasaan binatang yang kau bilang laknat itu,” kata Hans sambil menuju ke meja makan. Ia menyeruput tehnya, dan memulai sarapan pagi, sendiri. Amy mengikuti. “Aku harus memelihara kucing?” Kali ini suara Amy agak melunak. “No,” Hans menggeleng. Air teh sebentar di mulutnya, yang kemudian masuk lewat kerongkongannya. “Tikus adalah binatang pengerat. Ia selalu mengerat apapun untuk mencegah pertumbuhan giginya. Ya, apapun.” Mengunyah roti. “Lalu kenapa ia selalu mengacak-acak pakaian Erika? Apa yang salah dengan Erika?” Amy mendengus. Nafasnya memburu. Nyeri di hatinya mendengar jawaban Hans. “Mana kutahu?” jawab Hans. “Setidaknya, kamu seharusnya bertindak untuk membasminya, Hans!” “Aku bukan kucing yang memangsa tikus, Amy.” “Huh!! Kau memang tak mau tahu tentang Erika! Sekalipun tak pernah! Karena ia bukan anakmu?!” Memburu. “Amy, mengapa kau selalu berpikir aku tak menyayangi Erika? Hmm... Minumlah dahulu. Kau sangat emosional,” sahut Hans. “Kau yang bisa menjawab, Hans! Namun sikapmu tak menunjukkan itu!” Amy mengambil tehnya, tetapi belum sempat menelannya, ia tersedak ketika Hans balik bertanya kepadanya, “Lalu, siapa yang membayar semua biaya sekolahnya, Amy?” “Kau sangat berubah, Hans! Kau menjadi sungguh matrealistik. Kau tak ingat bagaimana dahulu kau sangat melarat? Lupakah kau, Handoko?!” Amy membanting cangkir di genggamnya. Ia masuk ke dalam, mencari Erika. Acara sarapan pagi dan minum teh, menjadi berantakan, seperti repihan-repihan kaca cangkir itu. Hans menggeleng-geleng kepalanya. “Tak baik mengungkit masa lalu, Amy!” Hans berteriak. Ia rasa, Amy mendengarnya. “Kenyataannya sekarang aku tak lagi mengemis, kan? He, itulah bukti kualitas diri.” Hans berkata pada dirinya sendiri. Hmm, kembali ia meminum tehnya. Tandas. “Akulah pemenangnya, Amy. Dan kita tak lagi pernah mendengar nama Nael.” Hans terkekeh. Demikianlah. Kerja keras, nasib dan keberuntungan telah resmi mengubah segalanya, termasuk juga namanya: Hans. Hanya dua hal yang tak berubah: kemerdekaannya yang ia tak mau hidupnya diatur oleh siapapun, dan cinta abadinya kepada Amy. *** Amy menggandeng Erika. Mereka seolah mematung menatap Hans, menunggu. Tentu saja, Hans merasa aneh diperlakukan seperti itu oleh dua perempuan itu. “Hey, mengapa kalian menatapku seperti itu?” “Erika telah siap berangkat ke sekolah, Hans. Ia tidak ingin terlambat kali ini, dan semoga saja kau bisa mengusahakannya,” kata Amy tajam. Lalu ia membungkuk, pelan ia berkata kepada Erika, “Kau ingin mengatakan sesuatu kepada Ayahmu, Erika?” Erika masih menatap Hans. Ia diam saja. “Katakan saja, Erika,” Amy mendesak. “Aku ingin kau menciumku sebelum aku turun dari mobil, Ayah,” kata Erika. Tanpa menjawab, Hans bergegas masuk ke dalam. Seolah tak menghiraukan Erika. Ia hendak merapikan pakaiannya sebentar, dan mengambil kontak mobil. Erika menunggu. Amy mengusap rambut Erika, dan memastikannya tidak berantakan. Lalu, klakson mobil memberi tanda, bahwa ia harus melepas Erika berangkat ke sekolah. “Nah, kau harus segera berangkat, Erika. Aku harap kau tidak berlama-lama, segeralah turun ketika sudah sampai di depan gerbang sekolah.” “Baiklah, Mama,” sahut Erika pelan. “Tapi, bagaimana jika Ayah masih bersikap seperti yang sudah-sudah?” Amy tak langsung menjawab pertanyaan Erika. Seperti biasa, ia mencium pipi Erika. “Sekarang cium Mama, Erika.” Lembut. Mereka berpelukan sebentar. “Mungkin Ayahmu butuh waktu, Erika.” Amy melepas Erika yang kemudian berjalan ringan menuju mobil. Ia tak mau terlambat, atau membiarkan Ayahnya, Hans, menunggu terlalu lama. Erika sempat melambaikan tangan. Lalu, tak seperti biasanya, pagi itu Erika sempat pula memberi kiss bye kepadanya. Kelihatan sekali, pagi itu Erika lebih riang dari biasanya. Dan itu membuat Amy tersenyum sendirian cukup lama. Hingga mobil itu menghilang dari pandangannya, Amy masih tersenyum sendirian. Barulah Amy segera sadar, ia harus segera meneruskan pekerjaan rumahnya. Ia bergegas masuk ke dalam. Ia masuk melewati pintu, wajah dan senyum Erika masih melintas. Sekilas, wajah dan senyum itu mengingatkan Amy pada lelaki yang ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu, setelah menggerogoti dirinya hingga jatuh dan terpuruk. Amy teringat pada Nael. [] Semarang, 2011