Minggu, 15 September 2013

Meja Cerpen #8

Undangan membaca dan mengobrolkan cerita pendek. Lembah Kelelawar mempersembahkan: Meja Cerpen #8 Cerpen “Kabar dari Laut” Karya Dina Ahsanta Puri. Pemantik Obrolan:1. Turahmat [Dosen], 2.Heri Cs [Pegiat Sastra Boja, Kendal].
Hari: Minggu, 22 September 2013. Pukul 19.30 – selesai. Tempat: Jl. Peterongan Timur no.337-a Semarang. [belakang pabrik Djarum, Tanggul Indah] Gratis. CP: 085642889366.


Kabar dari Laut
Cerpen Dina Ahsanta Puri

Seperti malam-malam yang lain. Pastilah Sapto akan keluar menemui laut. Duduk sejenak di hamparan pasir yang tak tersentuh oleh ombak. Mencoba membaca isyarat laut sebelum berlayar ke tengahnya. Terlihat jejak kaki kura-kura di sekelilingnya yang begitu dia hafal. Tak ketinggalan jejak manusia pun masih terlihat nyata, bahkan jejak mereka di pasir tak terhapus oleh ombak sekali pun. Jejak-jejak yang mengusik pandangan Sapto; segerombolan sampah.  
Debur ombak semakin terdengar jelas menyisipi sunyi malam. Kadang menerjang, surut, mengalir perlahan, dan menyisakan buih di hamparan pesisir. Selalu begitu sebelum hilang tak berbekas. Sesekali air ombak itu tersangkut  dilekuk batu karang, sejenak beristirahat di sana. Apapun yang terjadi ombak-ombak itu akan selalu kembali ke pelukan samudra luas dengan membawa semua kisah-kisahnya.
Dan seperti malam-malam kemarin pula. Bulan masih terlihat begitu terang. Adalah suatu kebiasaan para nelayan selama terang bulan untuk tidak melaut. Mereka lebih memilih memperbaiki alat tangkap yang kondisinya rusak. Namun, tidak sedikit dari mereka beralih profesi menjadi buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang demi memenuhi ekonomi keluarga. Percuma saja jika dipaksakan melaut. Tangkapan ikan akan sedikit. Pantulan cahaya bulan di permukaan air laut yang mengandung garam, membuat senar pancing ataupun jala yang terbenam terlihat menyala. Tentu ikan-ikan akan enggan mendekat. Dan Sapto bukanlah nelayan kemarin sore yang tak tahu tanda-tanda alam. Berlayar ke tengah laut baginya bukanlah semata menacari ikan. Bagi yang pertama kali mendengarnya mungkin ini akan terdengar konyol bahkan gila. Iya, Sapto lebih sering berlayar ke tengah laut untuk mencari mayat. Aneh bukan? Memang begitu adanya. Ombak pantai kidul yang ganas kerap mengambangkan mayat manusia. Entah korban kecelakaan, dibunuh, ataupun bunuh diri, bahkan mungkin juga tumbal Nyi Roro Kidul. Pekerjaan ini jauh lebih menguntungkan ketimbang mencari ikan di waktu-waktu seperti  ini. Dia cukup membawa mayat itu dan membuat semacam pengumuman baik dari mulut ke mulut atau pun melalui selebaran. Setelah itu, keluarga yang kehilangan akan menghampirinya dan memberinya uang sebagai tanda terima kasih.
            Ketika pengamatannya dirasa sudah cukup, Sapto tahu sisi mana yang harus dia tuju. Segeralah dia berlayar dengan perahu tuanya, menuju ombak yang paling keruh. Itulah patokannya selama ini. Dan benar adanya, mayat seorang lelaki tengah mengambang di tengah laut. Sekuat tenaga dia dayung perahunya untuk mendekat dan dengan sigap diangangkatnya mayat itu ke atas perahu. Hidungnya benar-benar sudah tumpul terhadap bau busuk yang menyeruak. Baginya bau busuk itu lebih nikmat ketimbang bau amis ikan-ikan yang pernah terperangkap jalanya.
***
            Keesokan harinya Sapto segera mengumumkan mayat yang telah dia temukan. Kabar tersebut segera menyebar luas bahkan sampai keluar perkampungan pesisir pantai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah gubuk Sapto yang hanya di huni olehnya serta putra semata wayangnya, Dirun. Bocah usia delapan tahun itu terlihat begitu kurus, nampak kurang gizi. Sejak lahir Dirun juga tidak sempat menyusu puting ibunya, sebab Jumairoh, istri Sapto tersebut meninggal ketika melahirkan Dirun.
            Kedatangan seorang perempuan muda beserta ajudannya, membuat orang-orang yang awalnya berdesakkan sembari menutup hidungnya mulai mundur dan mengatur jarak, memberikan ruang yang luas kepada perempuan dengan dagu terangkat dan tangan disilangkan. Perempuan itu menyerbakan aroma rosemary. Wewangian yang cocok untuk perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan.
             Salah seorang ajudan mendekat ke mayat yang terbujur di tengah ruangan dan ditutupi beberapa lembar kain jarit. Dibukanya sedikit kain yang menutupi wajah. Ajudan tersebut mengangguk kepada perempuan itu seakan memberikan isyarat lantas berkata, “benar, nyonya.”
            Dari sekian puluh mayat yang pernah dia pertemukan dengan keluarganya, baru kali ini dia menyaksikan wajah tak berduka dari orang yang jelas-jelas mengenal si mayat.
“Syukurlah,” gumam perempuan itu. “Laki-laki brengsek! Menyesal aku menjadi istirmu!” tambahnya. Bersama ajudannya dia berbalik hendak pergi, namun Sapto mencegatnya.
Dari pernyataan itu Sapto tahu bahwa perempuan itu adalah istri lelaki yang telah terbujur kaku di hadapannya. “Maaf, nyonya. Apa nyonya tidak ingin membawa suami nyonya pulang?” tanya Sapto heran.
            “Tidak.”
            “Kenapa tidak? Suami nyonya harus segera di makamkan, sudah membusuk. Bawalah nyonya, tenang aku tak meminta bayaran.”
            “Kamu kira aku tak membawanya lantaran aku tak punya uang? Buat apa membawa mayat terkutuk seperti dia? Sudah satu bulan ini dia meninggalkanku. Kawin lagi dengan perempuan lain! Biarlah, lempar saja ke laut lagi. Untuk pakan ikan!”
            Jika sudah begini,  Sapto terpaksa harus menguburkan mayat laki-laki itu secara pantas. Seperti mayat-mayat yang pernah dia temukan, namun tak diketahui siapa keluarganya.  Hari ini Sapto harus mengurus mayat itu dan dia memilih untuk tak berlayar malam ini. Tak ada satu pun tetangganya yang mau mendekat, membantu menguburkan mayat itu. Bagi mereka itu tanggungan Sapto atas tindakan konyolnya.
***
            Seperti keputusannya pagi tadi, malam ini dia tak berlayar baik berburu ikan maupun mayat. Dia memilih tidur bersama Dirun, bocah kecil yang sering dia tinggal malam hari ketika sudah tidur terlelap. Sapto tertidur pulas, hingga menjelang fajar dia terpaksa bangun karena kaget oleh suara seseorang yang menggedor-gedor pintu rumahnya.
            “Kang, kang Sapto! Keluar, Kang! Ini Sarti, Kang!”
            Setengah sadar Sapto berjalan membukakan pintu. Rupanya di luar sudah banyak orang.
            “Kang, tolong saya, kang, tolong!”
            “Tolong apa, Sar?”
            “Tolong carikan suamiku, Kang. Lihat itu, Kang!”
            “Itu perahu Karyo, bukan?”
            “Iya, malam ini suamiku nekat melaut. Dia pergi bersama beberapa nelayan lain. Wasmin salah satunya. Kata dia perahu kang Karyo sempat terbalik terkena goncangan ombak ganas . Sekarang hanya perahunya yang kembali. Kang Karyo hilang.”
            “Iya, To, tolong carikan Karyo!” seru para warga. Awalnya Sapto merasa heran atas permintaan warga yang sebelumnya sempat menyepelekan kemampuanya mencari mayat di lautan.
            “Baik, baik.”
            Sapto masuk ke dalam rumahnya mengambil beberapa perlengkapan. Dia juga mencium kening Dirun yang masih terlelap dalam tidurnya. Kemudian kembali keluar bersiap menjamah laut.
            “Sar, titip Dirun, ya?”
            “Iya, Kang.”
            Warga secara beriringan mengantar kepergian Sapto untuk mencari Karyo. Mereka sangat mengharapkan Sapto menemukannya. Entah masih hidup maupun sudah mati.  Mereka juga membantu mendorong perahu Karyo menuju ke tengah laut.
***
Terhitung sedari fajar Sapto pergi. Cukup lama. Warga telah menanti kedatangan Sapto di bibir pantai. Awan-awan tampak liar. Bergulung-gulung, membukit dan kelam dalam warna kelabu. Bergelayut diberati beban. Menambah muram wajah langit senja dengan desir angin yang parau membawa debu. Dari kejuhan ternyata perahu Sapto mulai nampak. Warga pun bersorak sorai melihatnya. Ketika ombak kian mendekatkan Sapto ke bibir pantai dia berteriak, “hai, aku menemukannya!”
Seperti yang telah di duga sebelumnya, pastilah Karyo sudah tak bernyawa. Tangis Sarti langsung pecah mendahului langit yang masih mempertahankan mendungnya. Empat orang warga memanggul mayat Karyo, sedang sisanya membuntuti dengan raut duka begitu dalam. Ketika warga sibuk membantu Sarti mengurus mayat suaminya, Sapto memilih untuk beristirahat sejenak di rumah gubuknya. Pencarian kali ini sangatlah melelahkan.
“Dirun, buatkan bapak kopi, nak.”
Tidak ada tanggapan. Biasanya jika Dirun terdiam itu pertanda dia tengah kebingungan sebab persediaan kopi atau gula sudah habis. Namun, Sapto yakin dia masih memiliki persediaan kopi dan gula setengah toples.
“Dirun, Run?”
Tetap tidak ada jawaban. Sapto mengahampiri kamarnya. Kosong. Dirun tidak ada. Dia cari ke belakan rumah pun tak ada. Kembali dia ke depan rumah, dan berteriak memanggil-manggil anaknya, “Diruuun! Kamu di mana!”
Dari kejauhan terlihat lambaian bocah laki-laki. Dia berlari melambai-lambaikan tangan. Samar-samar bocah tersebut berteriak mengatakan sesutau. Suaranya kalah keras dengan debur ombak. Sapto mengira itu adalah Dirun, tapi ternyata bukan. Itu adalah Mi’un anak adik iparnya.
“Paman, paman Sapto!” kata Mi’un dengan nafas tersengal-sengal. “Dirun, paman, Dirun.”
“Iya, Dirun kenapa?”
“Dia terseret ombak.”
“Apa?” Sapto benar-benar kebingungan, “toloooooongg!” teriak Sapto. Namun, tak seorang warga pun mendekat, mereka semua tengah sibuk mengurusi kematian Karyo. Rumah Karyo berada di ujung kampung, suara Sapto tak kan mampu menjangkaunya.
Mendung telah meluruh menjadi gerimis. Sapto merasa sangat tidak karuan. Di antara gerimis putih  yang menaburi senja. Keabu-abuan telah memeluk waktu dengan diiringi langit jingga yang kian lama kian memudar. Hari sudah mendekati pelukan malam. Perlahan gerimis mulai berganti hujan. Hujan yang kian deras. Dengan langkah kecilnya, Mi’un berlari pulang ke rumah, sedangkan  Sapto bergegas mendorong perahunya yang baru saja menepi untuk kembali berlayar ke tengah laut. “Diruuunnn!!!” teriak Sapto  ditengah tirai ombak  yang mengepung perahunya dari segala arah bersama  hujan tak hentinya terus mengguyur.
***
Pagi harinya warga berkumpul di bibir pantai dan sepakat untuk mencari Sapto serta anaknya. Namun ombak seolah memulang-pulangkan mereka kembali ke bibir pantai. Seakan mereka hanya akan mendapati kesia-siaan jika terus memaksa.
Semenjak saat itu tidak ada seorang pun  yang tahu keberadaan Sapto dan Dirun. Mungkin sudah mati di tengah laut dan dikoyak oleh ikan hiu. Beberapa orang kerap mendengar suara rintihan pilu serupa kesedihan yang mengapung di udara. Para nelayan yang berlayar malam hari pun terkadang melihat bayangan perahu Sapto, nampak seorang lelaki tengah memangku anaknya. Dan siapapun yang menyaksikannya, maka ia sama saja mendapatkan tanda kesialan. Tak dapat ikan, kapal rusak terterjang ombak dan beragam kesialan lainnya.
***
“Syukurlah mati. Hanya mencampuri urusan orang lain saja!” ucap seorang perempuan setelah membaca berita di koran mengenai seorang nelayan dan anaknya yang hilang di lautan dan dikabarkan mati.
“Nyonya, perempuan itu sudah kami bunuh. Akan diapakan nantinya?” 
“Buang saja ke laut. Biar dia ketemu dengan pasangannya yang brengsek! Pastikan kau buang mayat itu di tempat yang banyak ikan hiunya. Biar lekas lenyap dan tak ada yang menemukan!”
Para ajudan mengangguk. Perempuan itu mengambil botol parfum kecil di atas meja. Menyemprotkannya ke sisi kanan kiri leher secara bergantian, menyerbakan aroma rosemary. Wewangian yang cocok untuk perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan.



Semarang, September 2013

Meja Cerpen #7

Cerpen yang bakal dicubit di Meja Cerpen # 7 (Lembah Kelelawar) 

“Hadiah” 
Sutanto Aji. 

Beranda depan rumah sangat ramai dihiasi tanaman, ada juga belukar-belukar yang sengaja bebas tumbuh dengan sesuka. Sesekali dalam satu bulan dibersihkan, dipotong agar beranda terlihat rapi dipandang. Jika memandang memang tidak bosan. Tetapi, saat memandang akan menghasilkan ingatan-ingatan yang rumit dan sangat melelahkan. Karena di setiap tanaman itu ada kenangan tersendiri yang memang indah untuk diingat dan dikenang, meskipun akan menimbulkan air mata yang pasti jatuh. Kenangan itu pun yang membawa sepasang sedjoli Kakek dan Nenek masih tetap bersama dalam keadaan apapun di rumah yang sederhana tapi penuh warna. Dipan yang agak kropos itu menjadi saksi pemandangan Kakek yang selalu menemani Nenek dalam menyirami tanaman yang indah. Sambil membaca koran dan menikmati teh hangat buatan sang Nenek, akan menjadi bagian sempurna dalam menjalani pagi yang begitu dingin dan begitu alami. Dalam keadaan guncang maupun gemuruh, mereka tetap damai. Lelah yang mereka punya diselimuti dengan kekuatan yang cerah. Senyum yang berbohong untuk kebahagiaan. Kebahagiaan yang bertopeng kesedihan. Bukan masalah materi ataupun fisik. Mereka tidak mempunyai anak apalagi cucu. Hari-harinya hanya menunggu uang pensiunan. Mereka bekas pegawai negeri sipil yang mungkin serba kecukupan. Tetapi Saya tidak tahu, mengapa mereka masih tetap sabar, tabah dan saling mencintai. Apa karena uang? Saya sungguh tidak tahu. Yang saya tahu, hanya chemong yang mereka pelihara seperti memilihara anaknya sendiri. Tidak tahu kucing itu berasal dari mana. Chemong itu adalah kucing lucu, berwarna putih dan diiringi warna hitam yang belepotan. Bulunya halus, tidak berantakan dan tidak terlalu gemuk. Dia tidak pernah mencuri ikan atau makanan lainnya. Kalau lapar, hanya berteriak-teriak selayaknya suara kucing yang lain. Dan chemong selalu mengeluarkan jurus manjanya jika lapar, yaitu menempelkan bulunya kekaki Nenek ataupun Kakek. Nenek yang memberinya nama chemong. Saya tidak tahu juga, apakah Ibu dan Bapak saya mengerti tentang Kakek dan Nenek itu? Dari dulu, sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, sampai saya keperguruan tinggi, saya selalu melihat mereka berjalan bersama. Merawat bersama. Mungkin mereka takkan pernah lelah. Saya berpikir demikian, saya ingin sekali seperti mereka. Seperti hidup dalam kebahagiaan selamanya. Atau hanya saya yang melihat dari segi bahagianya saja? Ah,,, barangkali tidak. Mungkin, karena mereka saling mengerti dan memahami. Sedangkan bapak dan Ibu saya tidak selamanya seperti mereka. Sedikit-sedikit kalau tidak punya uang, atau ada salah paham, langsung marah-marah. Kemudian bertengkar. Kadang saya juga enggan melihatnya. Tapi…. Ah, apa boleh dikata. Mereka adalah orang tua saya sendiri. Orang tua yang selalu mempunyai cinta dan perhatian sesungguhnya kepada anaknya sendiri. Saya tetap bangga mempunyai orang tua yang selalu sayang kepada saya. Saya pun sayang mereka. Memang, tidak begitu jauh jarak antara rumah saya dengan Kakek dan Nenek. Hanya beberapa ratus meter untuk mencapainya. Kami satu Kecamatan, tapi beda Dusun. Setiap saya ada waktu luang, saya sering mampir mengunjunginya. Sembari mengisi waktu luang saya, saya selalu menempatkan waktu untuk singgah di kediaman mereka. Sambil bermain dengan chemong dan melihat-lihat tanaman hias yang indah. Saya hanya berteman dengan Nenek dan Kakek. Jarang, berteman dengan banyak orang seusia saya. Meskipun saya sudah mempunyai Nenek sendiri, tetapi, saya senang berteman dengan Nenek tetangga desa itu. Bukannya saya tidak suka sama Nenek sendiri. Tapi, saya ingin seperti mereka yang selalu terlihat rukun itu. Terlihat tenang dan damai setiap saya bermain di rumahnya. Kadang saya ingin menggantikan Kakek untuk memijat Nenek yang matanya selalu berkaca-kaca. Entah mengapa saya selalu senang bermain disana? “Bagaimana keadaan chemong Nek?” Gumam saya “Tanamannya tambah ramai juga Nek. Apa Nenek tidak capek merawatnya?” Nenek tersenyum dengan pertanyaan saya yang begitu polos. “Saya tidak akan capek atau bosan merawatnya nak. Seperti Kakek merawat Nenek selama ini.” Seringkali saya meminta maaf kepada Kakek, karena saya tidak bisa membahagiakannya, tetapi Kakek tetap sabar dengan keadaan saya ini nak. Saya merasa bersalah anak manis.” ”Tidak Nek! Nenek tidak pernah salah. Ini mungkin memang sudah kehendakNya. Pasti ada hikmahnya Nek. Nenek seharusnya bangga, mempunyai suami yang benar-benar sayang kepada Nenek.” Saya mencoba menjawab dengan bijak. Nenek selalu mengajari saya beberapa macam pengetahuan dan pengalaman. Nenek sangat baik, dan Kakek juga menyanyanginya. Saya memang bukan siapa-siapa mereka. Saya hanya pengagum kesetiaan mereka. Saya merasa senang bermain bersama Nenek dan Kakek itu. Bukan hanya karena chemong atau tanaman yang indah itu. Tapi, keramahan mereka. Mereka juga menganggap saya sebagai anak yang baik. … Nenek sekarang sakit-sakitan, begitu pula Kakek. Mereka saling merawat satu sama lain. Berkali-kali saya berkunjung, mereka dalam keadaan lemas-lemasan. Siapa yang harus merawat mereka? Saya tidak tahu bagaimana saya harus merawat mereka. Apakah Bapak dan Ibu saya mau merawat mereka? Sungguh kasihan mereka. Seandainya saya sudah selesai menjadi sarjana. Saya tidak ingin pergi ke kota itu lagi, kota yang gemuruh kebisinginan. Teman-teman yang kasar dengan penampilan dan gaya hidup. Dan segalanya yang ada serba mewah dan mahal. Saya belum selesai menjadi sarjana. Tapi, saya sudah tidak ingin pergi ke Kota lagi. Kota itu membosankan bagi saya. Meskipun banyak lowongan pekerjaan yang menjanjikan. “Tolong tahan saya Bu, tolong saya untuk tetap tinggal di Desa ini. Saya ingin merawat Nenek dan Kakek itu. Saya merasa kasihan dan sayang kepada mereka. Mereka tidak ada yang merawat Bu.” Permohonan saya kepada Ibu saya. “Kamu selesaikan dulu kuliahmu, nanti Bapak dan Ibu yang akan merawat Nenek itu, seperti Ibu merawat Nenek kamu sendiri. Kamu tidak usah mikirin Nenek dan Kakek itu lagi. Barangkali saja Nenek itu, mau dirawat sama Ibu. Ibu akan mencoba merayunya. Supaya Kakek dan Nenek itu mau tinggal bersama kami.” Ternyata Ibu baik. Ibu mau menjaga Kakek dan Nenek yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Saya merasa senang dengan kata-kata Ibu yang sungguh bijaksana dan sosial itu. “Terima kasih Bu.” Setiap hari saya selalu bertanya kepada Ibu tentang keadaan Nenek di rumah. Dan Ibu selalu berkata bohong tentang kebaikan Nenek dan Kakek. Supaya saya tidak khawatir memikirkan keadaan di rumah. Ibu membuat saya semangat untuk terus mengejar harapan saya yang kini sudah tertunda. Saya harus bisa menyelesaikan kuliah saya yang begitu sulit ini. Sekarang saya benar-benar serius belajar. Saya ingin cepat-cepat wisuda dan pulang kekampung halaman. Saya ingin melihat keadaan Nenek dan Kakek. Saya selalu berdo’a untuk kesehatan mereka. Tapi akhir-akhir ini, hari demi hari, kabar dari Ibu di rumah tidak mengenakan. Katanya keadaan Nenek malah semakin memburuk. Saya semakin khawatir. Saya ingin Nenek dan Kakek itu melihat saya memakai pakaian wisuda dan mengucapkan selamat buat saya. Alhasil dengan ketekunan dan kesabaran saya dalam menuntut ilmu yang selalu Ibu banggakan itu. Dalam beberapa tahun menjalaninya, Saya sekarang sudah mendapat gelar sarjana pendidikan. Yang lebih bangga lagi ketika Bapak, Ibu, Nenek saya, Kakek dan Nenek tetangga yang dirawat Ibu, itu menyaksikan kebahagian saya. Saya sungguh bahagia. Yang lebih bahagianya lagi, saya mendapat hadiah dari Nenek yang begitu istimewa. Chemong dan tanaman hias. Saya diberi chemong, kucing kesayangan Nenek. Sekarang saya yang harus merawat dan bermain dengan chemong di beranda yang penuh dengan tanaman hias itu. “Makasih Nek.” Apakah sebuah hadiah adalah motivator untuk mendapatkan sesuatu yang sulit untuk dicapainya? Sembari berfikir. 

Sutanto Aji. Sedang belajar di IKIP PGRI Semarang, jurusan pendidikan Biologi. 
Email sutantoaji@ymail.com Hp 085865113394