Senin, 07 Oktober 2013

Meja Cerpen #9 (Komunitas Lembah Kelelawar)


Meja Cerpen #9
Komunitas
Lembah Kelelawar

Menyuguhkan Cerpen:
KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN
karya Adefira Lestari (LPM Vokal)

Pemantik Obrolan:
  1. Khothibul Umam
  1. Kusfitria Marstyasih
(Ibu Rumah Tangga, Pengagum Cerita/ Demak)

Minggu, 20 Oktober 2013
Pukul 19.00 WIB - selesai

Tempat:
Komplek PKL (Bawah Masjid IKIP PGRI Semarang)

Silakan, siapa saja berhak untuk menulis ulasan cerpen “KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN” karya Adefira Lestari. Cerpen bisa diambil di group facebook Lembah Kelelawar atau di blog: http://lembahkelelawarsastra.blogspot.com/
Ulasan dikirim ke: lembahkelelawarsastra@yahoo.co.id
Ditunggu hingga 9 Oktober 2013, pukul 24.00 WIB.
Ulasan akan kami cetak, disebar dalam diskusi dan diunggah di blog.

CP: 085642889366



KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN
Cerpen Adefira Lestari

“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
***
Menjelang petang, aku tak sengaja bertemu Hamid. Dia sendirian, duduk di ujung bangku panjang, memangku tas kerja, memainkan ponsel. Awalnya aku tak percaya jika laki-laki itu adalah Hamid. Ya, hampir sembilan tahun ini dia pergi membawa segenggam kerinduan yang sulit kudapatkan dari laki-laki manapun.
Sore itu dia takjub saat kusapa. Seketika, kami berjabat tangan. Matanya naik turun memandangku. Biar! Aku suka melihatnya demikian. Dibandingkan dulu, penampilanku kini memang jauh berbeda. Dari gelagatnya, kupikir Hamid sedang mengingatku ketika aku masih memakai sandal jepit, rok payung di bawah lutut, dan rambut berombak yang terikat tinggi-tinggi. Sekarang, sepatu wedges yang dulu sangat kuimpikan begitu mudah kudapatkan. Rambut hitam sepantatku lurus terebonding. Di almariku penuh dengan pakaian bermode. Berbagai hiasan di wajah dan tanganku pun terlihat sangat anggun. Ditambah dengan kacamata minus yang selalu kukenakan.
Namun, aku tak menemukan perubahan yang mencolok pada Hamid. Tubuh putih kurusnya dulu memang telah sedikit terbalut daging. Kumis tipisnya tak berubah. Hanya saja penampilannya lebih menunjukkan kematangan seorang lelaki.
Jujur saja, aku selalu gelisah setelah pertemuan itu. Malam-malamku serasa terganggu oleh bayang-bayang Hamid. Ada apa denganku? Air mataku meleleh. Kenangan tentang Hamid kini tertarik kembali di antara temaram nyala lampu di kamarku. Saat kami bersama-sama makan es krim di alun-alun kota, saat ia mengajakku menaiki sepeda tandem di tepian tugu, dan saat kami terjebak hujan ketika pulang dari pernikahan Tito. Semuanya seperti angin lalu yang sekedar bertiup melintasi leherku.
“Mama, kenapa?” pertanyaan Bidah mengagetkanku.
“Tak ada apa-apa, Bidah. Tidurlah.”
“Mama menangis?” bocah delapan tahun itu mengusap ujung-unjung mataku. Air mataku telah merembas di sarung bantal.
“Tidak, Sayang.’
“Ma, kenapa Papa jarang pulang? Sekalinya pulang pasti…”
“Sudahlah, Bidah. Jangan pikirkan Papa. Biarkan dia begitu. Pikirkan saja sekolahmu. Kau mengerti?”
“Tapi kasihan Mama? Hiks.”
Bidah menangis sesegukan. Aku tak pernah menceritakan sesuatu yang telah diperbuat Tanu. Tapi aku yakin, tanpa kuceritakan pun dia pasti tahu. Mungkin dari teman-temannya atau dari para tetangga. Seperti ketika dia menagis sepulang sekolah seminggu lalu. Saat aku memasuki sebuah kamar hotel bersama lelaki yang mengaku bernama Heidar dan Joni secara bergantian.
***
“Sebesar apa anakmu sekarang?”
“Anakku? Apa pedulimu pada Bidah?”
“Bidah? Nama yang indah. Hey, tunggu!” Hamid menegakkan posisi duduknya. Pelipisnya berkerut-kerut. Aku masih ingat benar kebiasaan Hamid, gelagatnya yang demikian merupakan ciri khasnya ketika berusaha mengingat sesuatu. “Abidah atau Bidah? Lebih tepatnya Abidah, Nora. Bukankah Abidah itu nama yang sering kita bicarakan untuk menamai buah cinta kita?”
Hamid memandangiku tanpa berkedip. Aku tak mampu menatap mata yang dulu sempat kusukai. Ini adalah hal paling sulit bagiku.
“Ternyata kau masih menyukai nama itu, Nora. Kesan film Abidah yang kita tonton di bioskop waktu itu seketika telah mengental di ingatanmu.”
Tuhan, benarkah ini takdirmu? Mataku kembali mengembun. Hidungku pun terasa basah. Saat ini, aku tengah berusaha keras untuk menyembunyikan kegalauanku. Gelas kaca di depanku membisu. Hamid membisu. Semuanya membisu. Yang terdengar hanyalah alunan musik klasik bercampur lalu lalang kendaraan yang beradu deru.
***
Malam ini aku kembali meradang kesakitan. Bukan sakit kasat mata seperti yang biasa kutanggungkan. Lebih daripada itu, hatiku seperti tercokol hingga membuat seluruh tubuhku bergetar karena menahan perih.
Hampir seluruh bagian tubuhku memar, khususnya di bagian yang tertutup pakaian. Tangan besar laki-laki yang mengaku suamiku barang semalam, begitu kasar menjamahku. Aku terpelanting di kasur, tersungkur di lantai, dan aku juga kerap terdorong ke tembok. Semua itu berlalu ketika Bidah kusuruh tidur di lantai bawah atau ketika sedang check in di kamar hotel.
Aku tak tahu, apakah ini ganjaran ataukah yang lainnya. Mereka datang tanpa kuminta dan aku pun menerimanya tanpa syarat, asal prinsip saling menguntungkan tetap berlaku. Hanya saja, suamiku yang bernama Tanu lebih sering mengunjungiku. Dia juga kerap mengajak Bidah jalan-jalan. Itulah sebabnya kuizinkan Bidah memanggilnya Papa. Sebenarnya aku tak mempersoalkan masalah itu. Aku pun tak peduli atas gunjingan para tetangga. Tapi, aku kasihan pada Bidah.
***
Bintang gemintang telah bergantungan di langit kelam. Setelah menunggu lebih dari lima menit, Hamid akhirnya tiba di tempat yang telah dia janjikan. Ini adalah pertemuan kami yang kesekian kali. Dia memakai baju cokelat muda bergaris putih dan celana hitam. Rambutnya agak lembab. Dari garis pintu, pesonanya kembali membuat romaku bergidik. Matanya mengerling. Dia berjalan lambat-lambat seakan menggodaku untuk terus memperhatikannya.
“Ah, Hamid. Kau masih sama seperti dulu. Ini juga bagian dari kebiasaanmu. Selalu mengusikku, membuatku terus menunggumu untuk hadir di kesunyian jiwaku. Hingga akhirnya kau memberikan jalan kehidupan baru bagiku setelah kepergianmu dulu.”
Aku berusaha menangkis kenyataan itu. Wajahku tertunduk memandangi asap kopi di cangkirku yang masih sepi. Mataku. Ah, aku benci dengan keadaan ini. Hampir sembilan tahun aku mampu hidup tanpa perasaan serupa ini.
Tiba-tiba berjuta kunang-kunang muncul dari dalam cangkirku. Aku ternganga.
“Hai, Nora. Sudah lama menunggu? Maafkan aku. Aku sedikit telat,” sapa Hamid seketika saat menjabat tangan lalu mencium kedua pipiku.
“Oh, ya. Aku juga baru sampai,” kukembalikan perhatianku pada berjuta kunang-kunang yang sempat menawanku beberapa waktu, tapi serangga malam itu telah menghilang.
“Hey. Kau kenapa?” Hamid menepuk pundakku. “Mana Bidah? Kau tak mengajaknya? Nora, aku ingin bertemu dengan anakmu. Kenapa kau menyembunyikannya dariku?”
“Siapa bilang aku menyembunyikannya?”
“Lantas?”
***
Aku masih terbayang dengan kunang-kunang yang muncul dari cangkirku kemarin malam. Waktu berikutnya ketika aku membuat secangkir kopi pun, kunang-kunang itu kembali bermunculan di seduan kopiku. Kusandarkan punggungku di sofa, memandangi berjuta kunang-kunang yang terbang beriringan menembus langit-langit rumahku.
Hah. Mengapa hidupku selalu hampa? Aku hanya pernah merasakan hidupku berwarna ketika Hamid berada si sampingku. Saat ini Bidah belum pulang sekolah. Kesepianku benar-benar tak terukur.
“Nora!” suara itu mengagetkanku.
“Hamid? Darimana kau tahu rumahku?” aku terkesiap. Tanpa duga sangka, Hamid telah menemukanku di ruang tamu. “Lancang sekali kau. Kenapa tak ketuk pintu dulu!”
“Apa? Aku sudah berkali-kali ketuk pintu, Nora. Tapi kau tak memberikan jawaban. Kudapatkan pintumu tak terkunci. Ya, lalu aku masuk. Tak sulit untuk menemukan rumahmu, Nora.” ia tersenyum puas.
Apakah Hamid tahu soal aku?
“Aku ingin bertemu dengan Bidah. Secantik Abidah dalam film Abidah dulukah dia? Atau bahkan lebih cantik?”
“Dia tak ada. Abidah masih sekolah,” jawabku singkat.
Hamid serta merta duduk di sampingku. Tangannya meremas pahaku yang tersingkap dari daster tak berlengan yang kukenakan. Matanya menjurus tajam di kedua mataku. Darahku berdesir dan tubuhku bergetar.
“Jangan ulangi lagi, Hamid!” kudorong tubuh Hamid saat ia merapatkan tubuhnya kepadaku.
“Argh!” dia mengerang. Kepalanya terbentur meja. “Maafkan aku, Nora. Aku tak bermaksud begitu.”
“Aku tak suka dengan sikapmu. Apa maksud kedatanganmu?”
“Nora, dengarkan aku baik-baik. Kau masih ingat perbincangan kita malam itu?”
“Ya. Lalu?”
“Aku sudah menceraikan istriku. Kapan kau akan menceraikan suamimu? Lalu setelah itu, kapan kita menikah?”
Di hatiku telah turun hujan. Air begitu derasnya membasahi relung jiwaku yang telah gersang sekian lama. Akankah Hamid bersikap sama ketika dia mengetahui diriku yang sesungguhnya?
“Hamid. Aku tak tahu, apakah aku ini bersuami atau tidak,” Hamid mengernyitkan dahi mendengar pernyataanku. “Jika kau inginkan Bidah, bawalah. Dia anakmu. Biarkan aku menjalani hidupku seperti ini. Kau tahu? Kaulah yang membuatku seperti ini”
“Aku?”
“Ya. Kau lelaki terjahat. Kau menikah dengan perempuan lain sementara aku sedang mengandung anakmu. Kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Berbagai cara telah kulakukan untuk menemukan siasat agar waktuku tak berjalan lambat. Kerinduanku padamu hanya menjadi sebuah kesia-siaan. Kau tak kunjung datang mengunjungiku. Dan kau tahu? Hanya butiran-butiran air yang jatuh nista dari sudut-sudut matakulah yang mampu menerjemahkan seberapa besar rasa rinduku itu. Hingga akhirnya, aku memilih mencari kehangatan serupa kehangatanmu melalui beberapa lelaki yang kutemui. Apa kau lupa atas tindakanmu usai pulang dari pernikahan Wulan dan Tito malam itu? Kau lupa atas perbuatanmu saat membawaku menginap di sebuah penginapan ketika hujan lebat waktu itu? Memang! Kau lelaki pecundang!”
Umpatan yang telah sekian lama kupenjarakan kini dapat bebas keluar seperti kunang-kunang yang terbang dari cangkir kopiku.
“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” pernyataan itu kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun sulit melepaskannya.***