Meja Cerpen #9
Komunitas
Lembah Kelelawar
Menyuguhkan Cerpen:
KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN
karya Adefira
Lestari (LPM Vokal)
Pemantik Obrolan:
- Khothibul
Umam
- Kusfitria Marstyasih
(Ibu Rumah Tangga, Pengagum Cerita/ Demak)
Minggu, 20
Oktober 2013
Pukul 19.00 WIB -
selesai
Tempat:
Komplek PKL
(Bawah Masjid IKIP PGRI Semarang)
Silakan, siapa
saja berhak untuk menulis ulasan cerpen “KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN” karya
Adefira Lestari. Cerpen bisa diambil di group facebook Lembah Kelelawar atau di
blog: http://lembahkelelawarsastra.blogspot.com/
Ulasan dikirim
ke: lembahkelelawarsastra@yahoo.co.id
Ditunggu hingga 9
Oktober 2013, pukul 24.00 WIB.
Ulasan akan kami
cetak, disebar dalam diskusi dan diunggah di blog.
CP: 085642889366
KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN
Cerpen
Adefira Lestari
“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang.
Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan
terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
***
Menjelang petang, aku tak sengaja bertemu Hamid. Dia sendirian, duduk di
ujung bangku panjang, memangku tas kerja, memainkan ponsel. Awalnya aku tak percaya
jika laki-laki itu adalah Hamid. Ya, hampir sembilan tahun ini dia pergi
membawa segenggam kerinduan yang sulit kudapatkan dari laki-laki manapun.
Sore itu dia takjub saat kusapa. Seketika, kami berjabat tangan. Matanya
naik turun memandangku. Biar! Aku suka melihatnya demikian. Dibandingkan dulu,
penampilanku kini memang jauh berbeda. Dari gelagatnya, kupikir Hamid sedang
mengingatku ketika aku masih memakai sandal jepit, rok payung di bawah lutut,
dan rambut berombak yang terikat tinggi-tinggi. Sekarang, sepatu wedges yang
dulu sangat kuimpikan begitu mudah kudapatkan. Rambut hitam sepantatku lurus
terebonding. Di almariku penuh dengan pakaian bermode. Berbagai hiasan di wajah
dan tanganku pun terlihat sangat anggun. Ditambah dengan kacamata minus yang
selalu kukenakan.
Namun, aku tak menemukan perubahan yang mencolok pada Hamid. Tubuh putih
kurusnya dulu memang telah sedikit terbalut daging. Kumis tipisnya tak berubah.
Hanya saja penampilannya lebih menunjukkan kematangan seorang lelaki.
Jujur saja, aku selalu gelisah setelah pertemuan itu. Malam-malamku serasa terganggu
oleh bayang-bayang Hamid. Ada apa denganku? Air mataku meleleh. Kenangan
tentang Hamid kini tertarik kembali di antara temaram nyala lampu di kamarku.
Saat kami bersama-sama makan es krim di alun-alun kota, saat ia mengajakku menaiki
sepeda tandem di tepian tugu, dan saat kami terjebak hujan ketika pulang dari pernikahan
Tito. Semuanya seperti angin lalu yang sekedar bertiup melintasi leherku.
“Mama, kenapa?” pertanyaan Bidah mengagetkanku.
“Tak ada apa-apa, Bidah. Tidurlah.”
“Mama menangis?” bocah delapan tahun itu mengusap ujung-unjung mataku. Air
mataku telah merembas di sarung bantal.
“Tidak, Sayang.’
“Ma, kenapa Papa jarang pulang? Sekalinya pulang pasti…”
“Sudahlah, Bidah. Jangan pikirkan Papa. Biarkan dia begitu. Pikirkan saja
sekolahmu. Kau mengerti?”
“Tapi kasihan Mama? Hiks.”
Bidah menangis sesegukan. Aku tak pernah menceritakan sesuatu yang telah
diperbuat Tanu. Tapi aku yakin, tanpa kuceritakan pun dia pasti tahu. Mungkin
dari teman-temannya atau dari para tetangga. Seperti ketika dia menagis sepulang
sekolah seminggu lalu. Saat aku memasuki sebuah kamar hotel bersama lelaki yang
mengaku bernama Heidar dan Joni secara bergantian.
***
“Sebesar apa anakmu sekarang?”
“Anakku? Apa pedulimu pada Bidah?”
“Bidah? Nama yang indah. Hey, tunggu!” Hamid menegakkan posisi duduknya. Pelipisnya
berkerut-kerut. Aku masih ingat benar kebiasaan Hamid, gelagatnya yang demikian
merupakan ciri khasnya ketika berusaha mengingat sesuatu. “Abidah atau Bidah? Lebih
tepatnya Abidah, Nora. Bukankah Abidah itu nama yang sering kita bicarakan untuk
menamai buah cinta kita?”
Hamid memandangiku tanpa berkedip. Aku tak mampu menatap mata yang dulu
sempat kusukai. Ini adalah hal paling sulit bagiku.
“Ternyata kau masih menyukai nama itu, Nora. Kesan film Abidah yang kita tonton di bioskop waktu
itu seketika telah mengental di ingatanmu.”
Tuhan, benarkah ini takdirmu? Mataku kembali mengembun. Hidungku pun terasa
basah. Saat ini, aku tengah berusaha keras untuk menyembunyikan kegalauanku.
Gelas kaca di depanku membisu. Hamid membisu. Semuanya membisu. Yang terdengar
hanyalah alunan musik klasik bercampur lalu lalang kendaraan yang beradu deru.
***
Malam ini aku kembali meradang kesakitan. Bukan sakit kasat mata seperti yang
biasa kutanggungkan. Lebih daripada itu, hatiku seperti tercokol hingga membuat
seluruh tubuhku bergetar karena menahan perih.
Hampir seluruh bagian tubuhku memar, khususnya di bagian yang tertutup
pakaian. Tangan besar laki-laki yang mengaku suamiku barang semalam, begitu kasar
menjamahku. Aku terpelanting di kasur, tersungkur di lantai, dan aku juga kerap
terdorong ke tembok. Semua itu berlalu ketika Bidah kusuruh tidur di lantai
bawah atau ketika sedang check in di
kamar hotel.
Aku tak tahu, apakah ini ganjaran ataukah yang lainnya. Mereka datang tanpa
kuminta dan aku pun menerimanya tanpa syarat, asal prinsip saling menguntungkan
tetap berlaku. Hanya saja, suamiku yang bernama Tanu lebih sering mengunjungiku.
Dia juga kerap mengajak Bidah jalan-jalan. Itulah sebabnya kuizinkan Bidah
memanggilnya Papa. Sebenarnya aku tak mempersoalkan masalah itu. Aku pun tak
peduli atas gunjingan para tetangga. Tapi, aku kasihan pada Bidah.
***
Bintang gemintang telah bergantungan di langit kelam. Setelah menunggu
lebih dari lima menit, Hamid akhirnya tiba di tempat yang telah dia janjikan. Ini
adalah pertemuan kami yang kesekian kali. Dia memakai baju cokelat muda bergaris
putih dan celana hitam. Rambutnya agak lembab. Dari garis pintu, pesonanya
kembali membuat romaku bergidik. Matanya mengerling. Dia berjalan lambat-lambat
seakan menggodaku untuk terus memperhatikannya.
“Ah, Hamid. Kau masih sama seperti dulu. Ini juga bagian dari kebiasaanmu.
Selalu mengusikku, membuatku terus menunggumu untuk hadir di kesunyian jiwaku.
Hingga akhirnya kau memberikan jalan kehidupan baru bagiku setelah kepergianmu
dulu.”
Aku berusaha menangkis kenyataan itu. Wajahku tertunduk memandangi asap kopi
di cangkirku yang masih sepi. Mataku. Ah, aku benci dengan keadaan ini. Hampir
sembilan tahun aku mampu hidup tanpa perasaan serupa ini.
Tiba-tiba berjuta kunang-kunang muncul dari dalam cangkirku. Aku ternganga.
“Hai, Nora. Sudah lama menunggu? Maafkan aku. Aku sedikit telat,” sapa
Hamid seketika saat menjabat tangan lalu mencium kedua pipiku.
“Oh, ya. Aku juga baru sampai,” kukembalikan perhatianku pada berjuta
kunang-kunang yang sempat menawanku beberapa waktu, tapi serangga malam itu
telah menghilang.
“Hey. Kau kenapa?” Hamid menepuk pundakku. “Mana Bidah? Kau tak
mengajaknya? Nora, aku ingin bertemu dengan anakmu. Kenapa kau
menyembunyikannya dariku?”
“Siapa bilang aku menyembunyikannya?”
“Lantas?”
***
Aku masih terbayang dengan kunang-kunang yang muncul dari cangkirku kemarin
malam. Waktu berikutnya ketika aku membuat secangkir kopi pun, kunang-kunang
itu kembali bermunculan di seduan kopiku. Kusandarkan punggungku di sofa,
memandangi berjuta kunang-kunang yang terbang beriringan menembus langit-langit
rumahku.
Hah. Mengapa hidupku selalu hampa? Aku hanya pernah merasakan hidupku
berwarna ketika Hamid berada si sampingku. Saat ini Bidah belum pulang sekolah.
Kesepianku benar-benar tak terukur.
“Nora!” suara itu mengagetkanku.
“Hamid? Darimana kau tahu rumahku?” aku terkesiap. Tanpa duga sangka, Hamid
telah menemukanku di ruang tamu. “Lancang sekali kau. Kenapa tak ketuk pintu
dulu!”
“Apa? Aku sudah berkali-kali ketuk pintu, Nora. Tapi kau tak memberikan
jawaban. Kudapatkan pintumu tak terkunci. Ya, lalu aku masuk. Tak sulit untuk
menemukan rumahmu, Nora.” ia tersenyum puas.
Apakah Hamid tahu soal aku?
“Aku ingin bertemu dengan Bidah. Secantik Abidah dalam film Abidah dulukah dia? Atau bahkan lebih
cantik?”
“Dia tak ada. Abidah masih sekolah,” jawabku singkat.
Hamid serta merta duduk di sampingku. Tangannya meremas pahaku yang
tersingkap dari daster tak berlengan yang kukenakan. Matanya menjurus tajam di
kedua mataku. Darahku berdesir dan tubuhku bergetar.
“Jangan ulangi lagi, Hamid!” kudorong tubuh Hamid saat ia merapatkan
tubuhnya kepadaku.
“Argh!” dia mengerang. Kepalanya terbentur meja. “Maafkan aku, Nora. Aku
tak bermaksud begitu.”
“Aku tak suka dengan sikapmu. Apa maksud kedatanganmu?”
“Nora, dengarkan aku baik-baik. Kau masih ingat perbincangan kita malam
itu?”
“Ya. Lalu?”
“Aku sudah menceraikan istriku. Kapan kau akan menceraikan suamimu? Lalu
setelah itu, kapan kita menikah?”
Di hatiku telah turun hujan. Air begitu derasnya membasahi relung jiwaku
yang telah gersang sekian lama. Akankah Hamid bersikap sama ketika dia mengetahui
diriku yang sesungguhnya?
“Hamid. Aku tak tahu, apakah aku ini bersuami atau tidak,” Hamid
mengernyitkan dahi mendengar pernyataanku. “Jika kau inginkan Bidah, bawalah.
Dia anakmu. Biarkan aku menjalani hidupku seperti ini. Kau tahu? Kaulah yang
membuatku seperti ini”
“Aku?”
“Ya. Kau lelaki terjahat. Kau menikah dengan perempuan lain sementara aku
sedang mengandung anakmu. Kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Berbagai
cara telah kulakukan untuk menemukan siasat agar waktuku tak berjalan lambat. Kerinduanku
padamu hanya menjadi sebuah kesia-siaan. Kau tak kunjung datang mengunjungiku. Dan
kau tahu? Hanya butiran-butiran air yang jatuh nista dari sudut-sudut matakulah
yang mampu menerjemahkan seberapa besar rasa rinduku itu. Hingga akhirnya, aku
memilih mencari kehangatan serupa kehangatanmu melalui beberapa lelaki yang
kutemui. Apa kau lupa atas tindakanmu usai pulang dari pernikahan Wulan dan
Tito malam itu? Kau lupa atas perbuatanmu saat membawaku menginap di sebuah penginapan
ketika hujan lebat waktu itu? Memang! Kau lelaki pecundang!”
Umpatan yang telah sekian lama kupenjarakan kini dapat bebas keluar seperti
kunang-kunang yang terbang dari cangkir kopiku.
“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang.
Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” pernyataan itu
kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat.
Hingga aku pun sulit melepaskannya.***