Selasa, 05 November 2013

Lembah Kelelawar Mempersembahkan (Bukan) Peringatan Hari Pahlawan


Lembah Kelelawar Mempersembahkan
(Bukan) Peringatan Hari Pahlawan
Orator:
Samsul Ma’arif (Pluralis Bukan Aktifis)

Menafsir Pemikiran Tan Malaka. senin, 11 November 2013
Pukul 19.30-selesai
PKM Lt. 2, IKIP PGRI Semarang 
Cp: 085642889366
Orasi tak biasa dari pemuda bukan aktivis dan biasa-biasa saja. Gratis


Senin, 07 Oktober 2013

Meja Cerpen #9 (Komunitas Lembah Kelelawar)


Meja Cerpen #9
Komunitas
Lembah Kelelawar

Menyuguhkan Cerpen:
KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN
karya Adefira Lestari (LPM Vokal)

Pemantik Obrolan:
  1. Khothibul Umam
  1. Kusfitria Marstyasih
(Ibu Rumah Tangga, Pengagum Cerita/ Demak)

Minggu, 20 Oktober 2013
Pukul 19.00 WIB - selesai

Tempat:
Komplek PKL (Bawah Masjid IKIP PGRI Semarang)

Silakan, siapa saja berhak untuk menulis ulasan cerpen “KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN” karya Adefira Lestari. Cerpen bisa diambil di group facebook Lembah Kelelawar atau di blog: http://lembahkelelawarsastra.blogspot.com/
Ulasan dikirim ke: lembahkelelawarsastra@yahoo.co.id
Ditunggu hingga 9 Oktober 2013, pukul 24.00 WIB.
Ulasan akan kami cetak, disebar dalam diskusi dan diunggah di blog.

CP: 085642889366



KUNANG-KUNANG YANG BETERBANGAN
Cerpen Adefira Lestari

“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” itulah perkataan terakhir Hamid yang kudengar sebelum ia pergi meninggalkanku di sebuah halte.
***
Menjelang petang, aku tak sengaja bertemu Hamid. Dia sendirian, duduk di ujung bangku panjang, memangku tas kerja, memainkan ponsel. Awalnya aku tak percaya jika laki-laki itu adalah Hamid. Ya, hampir sembilan tahun ini dia pergi membawa segenggam kerinduan yang sulit kudapatkan dari laki-laki manapun.
Sore itu dia takjub saat kusapa. Seketika, kami berjabat tangan. Matanya naik turun memandangku. Biar! Aku suka melihatnya demikian. Dibandingkan dulu, penampilanku kini memang jauh berbeda. Dari gelagatnya, kupikir Hamid sedang mengingatku ketika aku masih memakai sandal jepit, rok payung di bawah lutut, dan rambut berombak yang terikat tinggi-tinggi. Sekarang, sepatu wedges yang dulu sangat kuimpikan begitu mudah kudapatkan. Rambut hitam sepantatku lurus terebonding. Di almariku penuh dengan pakaian bermode. Berbagai hiasan di wajah dan tanganku pun terlihat sangat anggun. Ditambah dengan kacamata minus yang selalu kukenakan.
Namun, aku tak menemukan perubahan yang mencolok pada Hamid. Tubuh putih kurusnya dulu memang telah sedikit terbalut daging. Kumis tipisnya tak berubah. Hanya saja penampilannya lebih menunjukkan kematangan seorang lelaki.
Jujur saja, aku selalu gelisah setelah pertemuan itu. Malam-malamku serasa terganggu oleh bayang-bayang Hamid. Ada apa denganku? Air mataku meleleh. Kenangan tentang Hamid kini tertarik kembali di antara temaram nyala lampu di kamarku. Saat kami bersama-sama makan es krim di alun-alun kota, saat ia mengajakku menaiki sepeda tandem di tepian tugu, dan saat kami terjebak hujan ketika pulang dari pernikahan Tito. Semuanya seperti angin lalu yang sekedar bertiup melintasi leherku.
“Mama, kenapa?” pertanyaan Bidah mengagetkanku.
“Tak ada apa-apa, Bidah. Tidurlah.”
“Mama menangis?” bocah delapan tahun itu mengusap ujung-unjung mataku. Air mataku telah merembas di sarung bantal.
“Tidak, Sayang.’
“Ma, kenapa Papa jarang pulang? Sekalinya pulang pasti…”
“Sudahlah, Bidah. Jangan pikirkan Papa. Biarkan dia begitu. Pikirkan saja sekolahmu. Kau mengerti?”
“Tapi kasihan Mama? Hiks.”
Bidah menangis sesegukan. Aku tak pernah menceritakan sesuatu yang telah diperbuat Tanu. Tapi aku yakin, tanpa kuceritakan pun dia pasti tahu. Mungkin dari teman-temannya atau dari para tetangga. Seperti ketika dia menagis sepulang sekolah seminggu lalu. Saat aku memasuki sebuah kamar hotel bersama lelaki yang mengaku bernama Heidar dan Joni secara bergantian.
***
“Sebesar apa anakmu sekarang?”
“Anakku? Apa pedulimu pada Bidah?”
“Bidah? Nama yang indah. Hey, tunggu!” Hamid menegakkan posisi duduknya. Pelipisnya berkerut-kerut. Aku masih ingat benar kebiasaan Hamid, gelagatnya yang demikian merupakan ciri khasnya ketika berusaha mengingat sesuatu. “Abidah atau Bidah? Lebih tepatnya Abidah, Nora. Bukankah Abidah itu nama yang sering kita bicarakan untuk menamai buah cinta kita?”
Hamid memandangiku tanpa berkedip. Aku tak mampu menatap mata yang dulu sempat kusukai. Ini adalah hal paling sulit bagiku.
“Ternyata kau masih menyukai nama itu, Nora. Kesan film Abidah yang kita tonton di bioskop waktu itu seketika telah mengental di ingatanmu.”
Tuhan, benarkah ini takdirmu? Mataku kembali mengembun. Hidungku pun terasa basah. Saat ini, aku tengah berusaha keras untuk menyembunyikan kegalauanku. Gelas kaca di depanku membisu. Hamid membisu. Semuanya membisu. Yang terdengar hanyalah alunan musik klasik bercampur lalu lalang kendaraan yang beradu deru.
***
Malam ini aku kembali meradang kesakitan. Bukan sakit kasat mata seperti yang biasa kutanggungkan. Lebih daripada itu, hatiku seperti tercokol hingga membuat seluruh tubuhku bergetar karena menahan perih.
Hampir seluruh bagian tubuhku memar, khususnya di bagian yang tertutup pakaian. Tangan besar laki-laki yang mengaku suamiku barang semalam, begitu kasar menjamahku. Aku terpelanting di kasur, tersungkur di lantai, dan aku juga kerap terdorong ke tembok. Semua itu berlalu ketika Bidah kusuruh tidur di lantai bawah atau ketika sedang check in di kamar hotel.
Aku tak tahu, apakah ini ganjaran ataukah yang lainnya. Mereka datang tanpa kuminta dan aku pun menerimanya tanpa syarat, asal prinsip saling menguntungkan tetap berlaku. Hanya saja, suamiku yang bernama Tanu lebih sering mengunjungiku. Dia juga kerap mengajak Bidah jalan-jalan. Itulah sebabnya kuizinkan Bidah memanggilnya Papa. Sebenarnya aku tak mempersoalkan masalah itu. Aku pun tak peduli atas gunjingan para tetangga. Tapi, aku kasihan pada Bidah.
***
Bintang gemintang telah bergantungan di langit kelam. Setelah menunggu lebih dari lima menit, Hamid akhirnya tiba di tempat yang telah dia janjikan. Ini adalah pertemuan kami yang kesekian kali. Dia memakai baju cokelat muda bergaris putih dan celana hitam. Rambutnya agak lembab. Dari garis pintu, pesonanya kembali membuat romaku bergidik. Matanya mengerling. Dia berjalan lambat-lambat seakan menggodaku untuk terus memperhatikannya.
“Ah, Hamid. Kau masih sama seperti dulu. Ini juga bagian dari kebiasaanmu. Selalu mengusikku, membuatku terus menunggumu untuk hadir di kesunyian jiwaku. Hingga akhirnya kau memberikan jalan kehidupan baru bagiku setelah kepergianmu dulu.”
Aku berusaha menangkis kenyataan itu. Wajahku tertunduk memandangi asap kopi di cangkirku yang masih sepi. Mataku. Ah, aku benci dengan keadaan ini. Hampir sembilan tahun aku mampu hidup tanpa perasaan serupa ini.
Tiba-tiba berjuta kunang-kunang muncul dari dalam cangkirku. Aku ternganga.
“Hai, Nora. Sudah lama menunggu? Maafkan aku. Aku sedikit telat,” sapa Hamid seketika saat menjabat tangan lalu mencium kedua pipiku.
“Oh, ya. Aku juga baru sampai,” kukembalikan perhatianku pada berjuta kunang-kunang yang sempat menawanku beberapa waktu, tapi serangga malam itu telah menghilang.
“Hey. Kau kenapa?” Hamid menepuk pundakku. “Mana Bidah? Kau tak mengajaknya? Nora, aku ingin bertemu dengan anakmu. Kenapa kau menyembunyikannya dariku?”
“Siapa bilang aku menyembunyikannya?”
“Lantas?”
***
Aku masih terbayang dengan kunang-kunang yang muncul dari cangkirku kemarin malam. Waktu berikutnya ketika aku membuat secangkir kopi pun, kunang-kunang itu kembali bermunculan di seduan kopiku. Kusandarkan punggungku di sofa, memandangi berjuta kunang-kunang yang terbang beriringan menembus langit-langit rumahku.
Hah. Mengapa hidupku selalu hampa? Aku hanya pernah merasakan hidupku berwarna ketika Hamid berada si sampingku. Saat ini Bidah belum pulang sekolah. Kesepianku benar-benar tak terukur.
“Nora!” suara itu mengagetkanku.
“Hamid? Darimana kau tahu rumahku?” aku terkesiap. Tanpa duga sangka, Hamid telah menemukanku di ruang tamu. “Lancang sekali kau. Kenapa tak ketuk pintu dulu!”
“Apa? Aku sudah berkali-kali ketuk pintu, Nora. Tapi kau tak memberikan jawaban. Kudapatkan pintumu tak terkunci. Ya, lalu aku masuk. Tak sulit untuk menemukan rumahmu, Nora.” ia tersenyum puas.
Apakah Hamid tahu soal aku?
“Aku ingin bertemu dengan Bidah. Secantik Abidah dalam film Abidah dulukah dia? Atau bahkan lebih cantik?”
“Dia tak ada. Abidah masih sekolah,” jawabku singkat.
Hamid serta merta duduk di sampingku. Tangannya meremas pahaku yang tersingkap dari daster tak berlengan yang kukenakan. Matanya menjurus tajam di kedua mataku. Darahku berdesir dan tubuhku bergetar.
“Jangan ulangi lagi, Hamid!” kudorong tubuh Hamid saat ia merapatkan tubuhnya kepadaku.
“Argh!” dia mengerang. Kepalanya terbentur meja. “Maafkan aku, Nora. Aku tak bermaksud begitu.”
“Aku tak suka dengan sikapmu. Apa maksud kedatanganmu?”
“Nora, dengarkan aku baik-baik. Kau masih ingat perbincangan kita malam itu?”
“Ya. Lalu?”
“Aku sudah menceraikan istriku. Kapan kau akan menceraikan suamimu? Lalu setelah itu, kapan kita menikah?”
Di hatiku telah turun hujan. Air begitu derasnya membasahi relung jiwaku yang telah gersang sekian lama. Akankah Hamid bersikap sama ketika dia mengetahui diriku yang sesungguhnya?
“Hamid. Aku tak tahu, apakah aku ini bersuami atau tidak,” Hamid mengernyitkan dahi mendengar pernyataanku. “Jika kau inginkan Bidah, bawalah. Dia anakmu. Biarkan aku menjalani hidupku seperti ini. Kau tahu? Kaulah yang membuatku seperti ini”
“Aku?”
“Ya. Kau lelaki terjahat. Kau menikah dengan perempuan lain sementara aku sedang mengandung anakmu. Kau tahu bagaimana perasaanku waktu itu? Berbagai cara telah kulakukan untuk menemukan siasat agar waktuku tak berjalan lambat. Kerinduanku padamu hanya menjadi sebuah kesia-siaan. Kau tak kunjung datang mengunjungiku. Dan kau tahu? Hanya butiran-butiran air yang jatuh nista dari sudut-sudut matakulah yang mampu menerjemahkan seberapa besar rasa rinduku itu. Hingga akhirnya, aku memilih mencari kehangatan serupa kehangatanmu melalui beberapa lelaki yang kutemui. Apa kau lupa atas tindakanmu usai pulang dari pernikahan Wulan dan Tito malam itu? Kau lupa atas perbuatanmu saat membawaku menginap di sebuah penginapan ketika hujan lebat waktu itu? Memang! Kau lelaki pecundang!”
Umpatan yang telah sekian lama kupenjarakan kini dapat bebas keluar seperti kunang-kunang yang terbang dari cangkir kopiku.
“Takdir Tuhan tak pernah salah, Nora. Termasuk pertemuan kita sekarang. Percayalah. Tuhan lebih tahu sesuatu yang tidak kita ketahui,” pernyataan itu kembali kudengar dari bibir Hamid. Dia menggenggam tanganku. Erat. Sangat erat. Hingga aku pun sulit melepaskannya.***

Minggu, 15 September 2013

Meja Cerpen #8

Undangan membaca dan mengobrolkan cerita pendek. Lembah Kelelawar mempersembahkan: Meja Cerpen #8 Cerpen “Kabar dari Laut” Karya Dina Ahsanta Puri. Pemantik Obrolan:1. Turahmat [Dosen], 2.Heri Cs [Pegiat Sastra Boja, Kendal].
Hari: Minggu, 22 September 2013. Pukul 19.30 – selesai. Tempat: Jl. Peterongan Timur no.337-a Semarang. [belakang pabrik Djarum, Tanggul Indah] Gratis. CP: 085642889366.


Kabar dari Laut
Cerpen Dina Ahsanta Puri

Seperti malam-malam yang lain. Pastilah Sapto akan keluar menemui laut. Duduk sejenak di hamparan pasir yang tak tersentuh oleh ombak. Mencoba membaca isyarat laut sebelum berlayar ke tengahnya. Terlihat jejak kaki kura-kura di sekelilingnya yang begitu dia hafal. Tak ketinggalan jejak manusia pun masih terlihat nyata, bahkan jejak mereka di pasir tak terhapus oleh ombak sekali pun. Jejak-jejak yang mengusik pandangan Sapto; segerombolan sampah.  
Debur ombak semakin terdengar jelas menyisipi sunyi malam. Kadang menerjang, surut, mengalir perlahan, dan menyisakan buih di hamparan pesisir. Selalu begitu sebelum hilang tak berbekas. Sesekali air ombak itu tersangkut  dilekuk batu karang, sejenak beristirahat di sana. Apapun yang terjadi ombak-ombak itu akan selalu kembali ke pelukan samudra luas dengan membawa semua kisah-kisahnya.
Dan seperti malam-malam kemarin pula. Bulan masih terlihat begitu terang. Adalah suatu kebiasaan para nelayan selama terang bulan untuk tidak melaut. Mereka lebih memilih memperbaiki alat tangkap yang kondisinya rusak. Namun, tidak sedikit dari mereka beralih profesi menjadi buruh tani, buruh bangunan, dan pedagang demi memenuhi ekonomi keluarga. Percuma saja jika dipaksakan melaut. Tangkapan ikan akan sedikit. Pantulan cahaya bulan di permukaan air laut yang mengandung garam, membuat senar pancing ataupun jala yang terbenam terlihat menyala. Tentu ikan-ikan akan enggan mendekat. Dan Sapto bukanlah nelayan kemarin sore yang tak tahu tanda-tanda alam. Berlayar ke tengah laut baginya bukanlah semata menacari ikan. Bagi yang pertama kali mendengarnya mungkin ini akan terdengar konyol bahkan gila. Iya, Sapto lebih sering berlayar ke tengah laut untuk mencari mayat. Aneh bukan? Memang begitu adanya. Ombak pantai kidul yang ganas kerap mengambangkan mayat manusia. Entah korban kecelakaan, dibunuh, ataupun bunuh diri, bahkan mungkin juga tumbal Nyi Roro Kidul. Pekerjaan ini jauh lebih menguntungkan ketimbang mencari ikan di waktu-waktu seperti  ini. Dia cukup membawa mayat itu dan membuat semacam pengumuman baik dari mulut ke mulut atau pun melalui selebaran. Setelah itu, keluarga yang kehilangan akan menghampirinya dan memberinya uang sebagai tanda terima kasih.
            Ketika pengamatannya dirasa sudah cukup, Sapto tahu sisi mana yang harus dia tuju. Segeralah dia berlayar dengan perahu tuanya, menuju ombak yang paling keruh. Itulah patokannya selama ini. Dan benar adanya, mayat seorang lelaki tengah mengambang di tengah laut. Sekuat tenaga dia dayung perahunya untuk mendekat dan dengan sigap diangangkatnya mayat itu ke atas perahu. Hidungnya benar-benar sudah tumpul terhadap bau busuk yang menyeruak. Baginya bau busuk itu lebih nikmat ketimbang bau amis ikan-ikan yang pernah terperangkap jalanya.
***
            Keesokan harinya Sapto segera mengumumkan mayat yang telah dia temukan. Kabar tersebut segera menyebar luas bahkan sampai keluar perkampungan pesisir pantai. Warga berbondong-bondong mendatangi rumah gubuk Sapto yang hanya di huni olehnya serta putra semata wayangnya, Dirun. Bocah usia delapan tahun itu terlihat begitu kurus, nampak kurang gizi. Sejak lahir Dirun juga tidak sempat menyusu puting ibunya, sebab Jumairoh, istri Sapto tersebut meninggal ketika melahirkan Dirun.
            Kedatangan seorang perempuan muda beserta ajudannya, membuat orang-orang yang awalnya berdesakkan sembari menutup hidungnya mulai mundur dan mengatur jarak, memberikan ruang yang luas kepada perempuan dengan dagu terangkat dan tangan disilangkan. Perempuan itu menyerbakan aroma rosemary. Wewangian yang cocok untuk perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan.
             Salah seorang ajudan mendekat ke mayat yang terbujur di tengah ruangan dan ditutupi beberapa lembar kain jarit. Dibukanya sedikit kain yang menutupi wajah. Ajudan tersebut mengangguk kepada perempuan itu seakan memberikan isyarat lantas berkata, “benar, nyonya.”
            Dari sekian puluh mayat yang pernah dia pertemukan dengan keluarganya, baru kali ini dia menyaksikan wajah tak berduka dari orang yang jelas-jelas mengenal si mayat.
“Syukurlah,” gumam perempuan itu. “Laki-laki brengsek! Menyesal aku menjadi istirmu!” tambahnya. Bersama ajudannya dia berbalik hendak pergi, namun Sapto mencegatnya.
Dari pernyataan itu Sapto tahu bahwa perempuan itu adalah istri lelaki yang telah terbujur kaku di hadapannya. “Maaf, nyonya. Apa nyonya tidak ingin membawa suami nyonya pulang?” tanya Sapto heran.
            “Tidak.”
            “Kenapa tidak? Suami nyonya harus segera di makamkan, sudah membusuk. Bawalah nyonya, tenang aku tak meminta bayaran.”
            “Kamu kira aku tak membawanya lantaran aku tak punya uang? Buat apa membawa mayat terkutuk seperti dia? Sudah satu bulan ini dia meninggalkanku. Kawin lagi dengan perempuan lain! Biarlah, lempar saja ke laut lagi. Untuk pakan ikan!”
            Jika sudah begini,  Sapto terpaksa harus menguburkan mayat laki-laki itu secara pantas. Seperti mayat-mayat yang pernah dia temukan, namun tak diketahui siapa keluarganya.  Hari ini Sapto harus mengurus mayat itu dan dia memilih untuk tak berlayar malam ini. Tak ada satu pun tetangganya yang mau mendekat, membantu menguburkan mayat itu. Bagi mereka itu tanggungan Sapto atas tindakan konyolnya.
***
            Seperti keputusannya pagi tadi, malam ini dia tak berlayar baik berburu ikan maupun mayat. Dia memilih tidur bersama Dirun, bocah kecil yang sering dia tinggal malam hari ketika sudah tidur terlelap. Sapto tertidur pulas, hingga menjelang fajar dia terpaksa bangun karena kaget oleh suara seseorang yang menggedor-gedor pintu rumahnya.
            “Kang, kang Sapto! Keluar, Kang! Ini Sarti, Kang!”
            Setengah sadar Sapto berjalan membukakan pintu. Rupanya di luar sudah banyak orang.
            “Kang, tolong saya, kang, tolong!”
            “Tolong apa, Sar?”
            “Tolong carikan suamiku, Kang. Lihat itu, Kang!”
            “Itu perahu Karyo, bukan?”
            “Iya, malam ini suamiku nekat melaut. Dia pergi bersama beberapa nelayan lain. Wasmin salah satunya. Kata dia perahu kang Karyo sempat terbalik terkena goncangan ombak ganas . Sekarang hanya perahunya yang kembali. Kang Karyo hilang.”
            “Iya, To, tolong carikan Karyo!” seru para warga. Awalnya Sapto merasa heran atas permintaan warga yang sebelumnya sempat menyepelekan kemampuanya mencari mayat di lautan.
            “Baik, baik.”
            Sapto masuk ke dalam rumahnya mengambil beberapa perlengkapan. Dia juga mencium kening Dirun yang masih terlelap dalam tidurnya. Kemudian kembali keluar bersiap menjamah laut.
            “Sar, titip Dirun, ya?”
            “Iya, Kang.”
            Warga secara beriringan mengantar kepergian Sapto untuk mencari Karyo. Mereka sangat mengharapkan Sapto menemukannya. Entah masih hidup maupun sudah mati.  Mereka juga membantu mendorong perahu Karyo menuju ke tengah laut.
***
Terhitung sedari fajar Sapto pergi. Cukup lama. Warga telah menanti kedatangan Sapto di bibir pantai. Awan-awan tampak liar. Bergulung-gulung, membukit dan kelam dalam warna kelabu. Bergelayut diberati beban. Menambah muram wajah langit senja dengan desir angin yang parau membawa debu. Dari kejuhan ternyata perahu Sapto mulai nampak. Warga pun bersorak sorai melihatnya. Ketika ombak kian mendekatkan Sapto ke bibir pantai dia berteriak, “hai, aku menemukannya!”
Seperti yang telah di duga sebelumnya, pastilah Karyo sudah tak bernyawa. Tangis Sarti langsung pecah mendahului langit yang masih mempertahankan mendungnya. Empat orang warga memanggul mayat Karyo, sedang sisanya membuntuti dengan raut duka begitu dalam. Ketika warga sibuk membantu Sarti mengurus mayat suaminya, Sapto memilih untuk beristirahat sejenak di rumah gubuknya. Pencarian kali ini sangatlah melelahkan.
“Dirun, buatkan bapak kopi, nak.”
Tidak ada tanggapan. Biasanya jika Dirun terdiam itu pertanda dia tengah kebingungan sebab persediaan kopi atau gula sudah habis. Namun, Sapto yakin dia masih memiliki persediaan kopi dan gula setengah toples.
“Dirun, Run?”
Tetap tidak ada jawaban. Sapto mengahampiri kamarnya. Kosong. Dirun tidak ada. Dia cari ke belakan rumah pun tak ada. Kembali dia ke depan rumah, dan berteriak memanggil-manggil anaknya, “Diruuun! Kamu di mana!”
Dari kejauhan terlihat lambaian bocah laki-laki. Dia berlari melambai-lambaikan tangan. Samar-samar bocah tersebut berteriak mengatakan sesutau. Suaranya kalah keras dengan debur ombak. Sapto mengira itu adalah Dirun, tapi ternyata bukan. Itu adalah Mi’un anak adik iparnya.
“Paman, paman Sapto!” kata Mi’un dengan nafas tersengal-sengal. “Dirun, paman, Dirun.”
“Iya, Dirun kenapa?”
“Dia terseret ombak.”
“Apa?” Sapto benar-benar kebingungan, “toloooooongg!” teriak Sapto. Namun, tak seorang warga pun mendekat, mereka semua tengah sibuk mengurusi kematian Karyo. Rumah Karyo berada di ujung kampung, suara Sapto tak kan mampu menjangkaunya.
Mendung telah meluruh menjadi gerimis. Sapto merasa sangat tidak karuan. Di antara gerimis putih  yang menaburi senja. Keabu-abuan telah memeluk waktu dengan diiringi langit jingga yang kian lama kian memudar. Hari sudah mendekati pelukan malam. Perlahan gerimis mulai berganti hujan. Hujan yang kian deras. Dengan langkah kecilnya, Mi’un berlari pulang ke rumah, sedangkan  Sapto bergegas mendorong perahunya yang baru saja menepi untuk kembali berlayar ke tengah laut. “Diruuunnn!!!” teriak Sapto  ditengah tirai ombak  yang mengepung perahunya dari segala arah bersama  hujan tak hentinya terus mengguyur.
***
Pagi harinya warga berkumpul di bibir pantai dan sepakat untuk mencari Sapto serta anaknya. Namun ombak seolah memulang-pulangkan mereka kembali ke bibir pantai. Seakan mereka hanya akan mendapati kesia-siaan jika terus memaksa.
Semenjak saat itu tidak ada seorang pun  yang tahu keberadaan Sapto dan Dirun. Mungkin sudah mati di tengah laut dan dikoyak oleh ikan hiu. Beberapa orang kerap mendengar suara rintihan pilu serupa kesedihan yang mengapung di udara. Para nelayan yang berlayar malam hari pun terkadang melihat bayangan perahu Sapto, nampak seorang lelaki tengah memangku anaknya. Dan siapapun yang menyaksikannya, maka ia sama saja mendapatkan tanda kesialan. Tak dapat ikan, kapal rusak terterjang ombak dan beragam kesialan lainnya.
***
“Syukurlah mati. Hanya mencampuri urusan orang lain saja!” ucap seorang perempuan setelah membaca berita di koran mengenai seorang nelayan dan anaknya yang hilang di lautan dan dikabarkan mati.
“Nyonya, perempuan itu sudah kami bunuh. Akan diapakan nantinya?” 
“Buang saja ke laut. Biar dia ketemu dengan pasangannya yang brengsek! Pastikan kau buang mayat itu di tempat yang banyak ikan hiunya. Biar lekas lenyap dan tak ada yang menemukan!”
Para ajudan mengangguk. Perempuan itu mengambil botol parfum kecil di atas meja. Menyemprotkannya ke sisi kanan kiri leher secara bergantian, menyerbakan aroma rosemary. Wewangian yang cocok untuk perempuan energik, keras, berani dan menyukai petualangan.



Semarang, September 2013

Meja Cerpen #7

Cerpen yang bakal dicubit di Meja Cerpen # 7 (Lembah Kelelawar) 

“Hadiah” 
Sutanto Aji. 

Beranda depan rumah sangat ramai dihiasi tanaman, ada juga belukar-belukar yang sengaja bebas tumbuh dengan sesuka. Sesekali dalam satu bulan dibersihkan, dipotong agar beranda terlihat rapi dipandang. Jika memandang memang tidak bosan. Tetapi, saat memandang akan menghasilkan ingatan-ingatan yang rumit dan sangat melelahkan. Karena di setiap tanaman itu ada kenangan tersendiri yang memang indah untuk diingat dan dikenang, meskipun akan menimbulkan air mata yang pasti jatuh. Kenangan itu pun yang membawa sepasang sedjoli Kakek dan Nenek masih tetap bersama dalam keadaan apapun di rumah yang sederhana tapi penuh warna. Dipan yang agak kropos itu menjadi saksi pemandangan Kakek yang selalu menemani Nenek dalam menyirami tanaman yang indah. Sambil membaca koran dan menikmati teh hangat buatan sang Nenek, akan menjadi bagian sempurna dalam menjalani pagi yang begitu dingin dan begitu alami. Dalam keadaan guncang maupun gemuruh, mereka tetap damai. Lelah yang mereka punya diselimuti dengan kekuatan yang cerah. Senyum yang berbohong untuk kebahagiaan. Kebahagiaan yang bertopeng kesedihan. Bukan masalah materi ataupun fisik. Mereka tidak mempunyai anak apalagi cucu. Hari-harinya hanya menunggu uang pensiunan. Mereka bekas pegawai negeri sipil yang mungkin serba kecukupan. Tetapi Saya tidak tahu, mengapa mereka masih tetap sabar, tabah dan saling mencintai. Apa karena uang? Saya sungguh tidak tahu. Yang saya tahu, hanya chemong yang mereka pelihara seperti memilihara anaknya sendiri. Tidak tahu kucing itu berasal dari mana. Chemong itu adalah kucing lucu, berwarna putih dan diiringi warna hitam yang belepotan. Bulunya halus, tidak berantakan dan tidak terlalu gemuk. Dia tidak pernah mencuri ikan atau makanan lainnya. Kalau lapar, hanya berteriak-teriak selayaknya suara kucing yang lain. Dan chemong selalu mengeluarkan jurus manjanya jika lapar, yaitu menempelkan bulunya kekaki Nenek ataupun Kakek. Nenek yang memberinya nama chemong. Saya tidak tahu juga, apakah Ibu dan Bapak saya mengerti tentang Kakek dan Nenek itu? Dari dulu, sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, sampai saya keperguruan tinggi, saya selalu melihat mereka berjalan bersama. Merawat bersama. Mungkin mereka takkan pernah lelah. Saya berpikir demikian, saya ingin sekali seperti mereka. Seperti hidup dalam kebahagiaan selamanya. Atau hanya saya yang melihat dari segi bahagianya saja? Ah,,, barangkali tidak. Mungkin, karena mereka saling mengerti dan memahami. Sedangkan bapak dan Ibu saya tidak selamanya seperti mereka. Sedikit-sedikit kalau tidak punya uang, atau ada salah paham, langsung marah-marah. Kemudian bertengkar. Kadang saya juga enggan melihatnya. Tapi…. Ah, apa boleh dikata. Mereka adalah orang tua saya sendiri. Orang tua yang selalu mempunyai cinta dan perhatian sesungguhnya kepada anaknya sendiri. Saya tetap bangga mempunyai orang tua yang selalu sayang kepada saya. Saya pun sayang mereka. Memang, tidak begitu jauh jarak antara rumah saya dengan Kakek dan Nenek. Hanya beberapa ratus meter untuk mencapainya. Kami satu Kecamatan, tapi beda Dusun. Setiap saya ada waktu luang, saya sering mampir mengunjunginya. Sembari mengisi waktu luang saya, saya selalu menempatkan waktu untuk singgah di kediaman mereka. Sambil bermain dengan chemong dan melihat-lihat tanaman hias yang indah. Saya hanya berteman dengan Nenek dan Kakek. Jarang, berteman dengan banyak orang seusia saya. Meskipun saya sudah mempunyai Nenek sendiri, tetapi, saya senang berteman dengan Nenek tetangga desa itu. Bukannya saya tidak suka sama Nenek sendiri. Tapi, saya ingin seperti mereka yang selalu terlihat rukun itu. Terlihat tenang dan damai setiap saya bermain di rumahnya. Kadang saya ingin menggantikan Kakek untuk memijat Nenek yang matanya selalu berkaca-kaca. Entah mengapa saya selalu senang bermain disana? “Bagaimana keadaan chemong Nek?” Gumam saya “Tanamannya tambah ramai juga Nek. Apa Nenek tidak capek merawatnya?” Nenek tersenyum dengan pertanyaan saya yang begitu polos. “Saya tidak akan capek atau bosan merawatnya nak. Seperti Kakek merawat Nenek selama ini.” Seringkali saya meminta maaf kepada Kakek, karena saya tidak bisa membahagiakannya, tetapi Kakek tetap sabar dengan keadaan saya ini nak. Saya merasa bersalah anak manis.” ”Tidak Nek! Nenek tidak pernah salah. Ini mungkin memang sudah kehendakNya. Pasti ada hikmahnya Nek. Nenek seharusnya bangga, mempunyai suami yang benar-benar sayang kepada Nenek.” Saya mencoba menjawab dengan bijak. Nenek selalu mengajari saya beberapa macam pengetahuan dan pengalaman. Nenek sangat baik, dan Kakek juga menyanyanginya. Saya memang bukan siapa-siapa mereka. Saya hanya pengagum kesetiaan mereka. Saya merasa senang bermain bersama Nenek dan Kakek itu. Bukan hanya karena chemong atau tanaman yang indah itu. Tapi, keramahan mereka. Mereka juga menganggap saya sebagai anak yang baik. … Nenek sekarang sakit-sakitan, begitu pula Kakek. Mereka saling merawat satu sama lain. Berkali-kali saya berkunjung, mereka dalam keadaan lemas-lemasan. Siapa yang harus merawat mereka? Saya tidak tahu bagaimana saya harus merawat mereka. Apakah Bapak dan Ibu saya mau merawat mereka? Sungguh kasihan mereka. Seandainya saya sudah selesai menjadi sarjana. Saya tidak ingin pergi ke kota itu lagi, kota yang gemuruh kebisinginan. Teman-teman yang kasar dengan penampilan dan gaya hidup. Dan segalanya yang ada serba mewah dan mahal. Saya belum selesai menjadi sarjana. Tapi, saya sudah tidak ingin pergi ke Kota lagi. Kota itu membosankan bagi saya. Meskipun banyak lowongan pekerjaan yang menjanjikan. “Tolong tahan saya Bu, tolong saya untuk tetap tinggal di Desa ini. Saya ingin merawat Nenek dan Kakek itu. Saya merasa kasihan dan sayang kepada mereka. Mereka tidak ada yang merawat Bu.” Permohonan saya kepada Ibu saya. “Kamu selesaikan dulu kuliahmu, nanti Bapak dan Ibu yang akan merawat Nenek itu, seperti Ibu merawat Nenek kamu sendiri. Kamu tidak usah mikirin Nenek dan Kakek itu lagi. Barangkali saja Nenek itu, mau dirawat sama Ibu. Ibu akan mencoba merayunya. Supaya Kakek dan Nenek itu mau tinggal bersama kami.” Ternyata Ibu baik. Ibu mau menjaga Kakek dan Nenek yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Saya merasa senang dengan kata-kata Ibu yang sungguh bijaksana dan sosial itu. “Terima kasih Bu.” Setiap hari saya selalu bertanya kepada Ibu tentang keadaan Nenek di rumah. Dan Ibu selalu berkata bohong tentang kebaikan Nenek dan Kakek. Supaya saya tidak khawatir memikirkan keadaan di rumah. Ibu membuat saya semangat untuk terus mengejar harapan saya yang kini sudah tertunda. Saya harus bisa menyelesaikan kuliah saya yang begitu sulit ini. Sekarang saya benar-benar serius belajar. Saya ingin cepat-cepat wisuda dan pulang kekampung halaman. Saya ingin melihat keadaan Nenek dan Kakek. Saya selalu berdo’a untuk kesehatan mereka. Tapi akhir-akhir ini, hari demi hari, kabar dari Ibu di rumah tidak mengenakan. Katanya keadaan Nenek malah semakin memburuk. Saya semakin khawatir. Saya ingin Nenek dan Kakek itu melihat saya memakai pakaian wisuda dan mengucapkan selamat buat saya. Alhasil dengan ketekunan dan kesabaran saya dalam menuntut ilmu yang selalu Ibu banggakan itu. Dalam beberapa tahun menjalaninya, Saya sekarang sudah mendapat gelar sarjana pendidikan. Yang lebih bangga lagi ketika Bapak, Ibu, Nenek saya, Kakek dan Nenek tetangga yang dirawat Ibu, itu menyaksikan kebahagian saya. Saya sungguh bahagia. Yang lebih bahagianya lagi, saya mendapat hadiah dari Nenek yang begitu istimewa. Chemong dan tanaman hias. Saya diberi chemong, kucing kesayangan Nenek. Sekarang saya yang harus merawat dan bermain dengan chemong di beranda yang penuh dengan tanaman hias itu. “Makasih Nek.” Apakah sebuah hadiah adalah motivator untuk mendapatkan sesuatu yang sulit untuk dicapainya? Sembari berfikir. 

Sutanto Aji. Sedang belajar di IKIP PGRI Semarang, jurusan pendidikan Biologi. 
Email sutantoaji@ymail.com Hp 085865113394

Rabu, 26 September 2012

Cerpen yang dibibirkan dalam Meja Cerpen #5

Tikus Oleh M. Rifan Fajrin Malam pecah. “Tikus!” Amy memekik gusar. Ia menyambar sapu lidi. Munajat di malam sepi harus sejenak tertunda. Padahal ia sudah sempurna mengambil wudhu. Dikejarnya tikus yang nyaris menabrak kakinya, dan hampir saja membuatnya jatuh terpeleset. “Hans!” “Jangan berisik, Amy. Nanti Erika terbangun. Beberapa hari ini ia tidur tak pernah nyenyak sepertinya.” Memang, tikus tak pernah mengusik ritual munajat Amy di malam sunyi. Hanya saja, ia selalu datang setiap Amy selesai mengambil wudhu. Dan yang membuat Amy geram, tikus itu selalu menghilang setelah Amy memergokinya melintas. Termasuk malam itu. Lalu, setiap kali Amy hendak mengambil pakaian sekolah Erika, ia selalu mendapati lemari pakaian anak gadisnya itu dengan isi berantakan karena diusik tikus. “Hans, kau tak pernah peduli!” Hans sendiri, sejak kecil telah terbiasa akrab dengan tikus. Tetapi kepahitan masa lalu memang selayaknya dalam-dalam terkubur. Biarkan saja ia menjadi bangkai, yang baunya tentu saja lebih menjijikkan daripada kepahitan itu sendiri. Begitulah. Dan memang berbeda dengan rumahnya sekarang, rumahnya dahulu tak seindah dan sebersih sekarang. Rumahnya yang dahulu hanya berdinding papan dan berlantaikan tanah. Sepertinya tidak terlalu menjadi persoalan jika di malam hari beberapa ekor tikus menerobos masuk ke rumahnya. Berbeda dengan rumahnya sekarang, yang berdinding tembok dengan cat serba putih, dan berlantaikan keramik. “Rumah yang mewah terkadang memang membikin kita repot,” Hans berkilah, “setiap waktu kita harus memastikannya untuk selalu bersih. Cobalah untuk bersahabat dengan binatang, Amy!” “Aku sungguh tak tahu apa yang ada di kepalamu, Hans! Jika kau sanggup bijaksana untuk menyayangi binatang, lalu mengapa kau tak pernah benar-benar menyayangi Erika?!” Amy melangkah. Begitu saja ia membuang sapu lidinya. “Lalu, kenapa kau mau menikahi aku kalau begitu?” Amy menceracau, dan memutuskan untuk mengambil air wudhu kembali. Selalu saja seperti itu. Dan Hans kembali mendengkur. Sementara Erika, seperti yang sudah-sudah, mulai menggeliat. “Mama, apakah nanti aku bisa untuk tidak terlambat ke sekolah?” Gadis kelas dua sekolah dasar itu mengucek-ucek mata kecilnya. “Tentu, jika kau mengambil pakaianmu sekarang, serta jika Ayahmu mau mengantarmu dan bangun lebih awal, Erika.” “Baiklah, Mama.” Lalu Erika beringsut dari tempat tidurnya. Pagi itu ia memulai untuk terbiasa mandi setelah bangun tidur. Gemerincing suara air tak membuyarkan khusyuk Amy berdiri. Ia benar-benar bermunajat. Air matanya menetes. Untuk kali ini, ia menyelipkan doa khusus: Enyahlah tikus sialan, dan enyahlah ketakpedulian Hans! Ya Tuhan, aku menyayangi Erika... “Mama...” Doa tersendat. Amy menghapus bulir air mata di pipinya. Dagunya masih basah. Ia menoleh. Dilihatnya Erika yang masih terbalut handuk telah berdiri di belakangnya. “Ada apa, sayang?” “Tikus kembali mengacak-acak lemari pakaianku, Mama.” Amy memeluk Erika. Justru ia yang terisak. Sementara Erika, di antara rasa kecewanya, ia mulai merasa kedinginan. *** Pernah Amy menukar isi lemari Erika dengan milik Hans. Akan tetapi tetap saja, tikus itu selalu menyerang pakaian Erika. Pernah pula Amy berusaha memasang perangkap dan racun tikus. Namun nihil. Semua perangkap dan racun itu sepertinya tak pernah tersentuh. Oh, Tuhan! Apa yang salah dari semua ini? Bukankah pakaian mereka terbuat dari bahan yang sama, atau, baiklah, terbuat dari bahan yang tak jauh beda? Semua pakaian di rumah ini dicuci dengan mesin yang sama. Kemudian disetrika dan diberi pewangi pakaian yang sama? Lalu, mengapa pakaian Erika yang menjadi sasaran tikus jahanam itu? Ini benar-benar membuat Amy hampir gila. “Apakah aku perlu memiliki seekor kucing? Ya, bukankah kucing adalah pemburu nomor satu?” sering sekali dalam sendirinya Amy bergumam. Oh, ya, bukankah Hans pernah bilang, bahwa aku harus lebih bisa bersahabat dengan binatang? Barangkali seperti itulah maksud Hans. Bahwa sesuatu yang alamiah, harus diselesaikan dengan cara yang alamiah pula. “Apa maksudmu aku harus lebih berakrab-akrab dengan binatang, Hans?” “Kamu tidak tahu maksudku, Amy? Kau bodoh sekali,” cetus Hans. Mengejek. “Jangan memojokkanku. Katakan saja, apa maksudmu?!” “Kau harus tahu kebiasaan binatang yang kau bilang laknat itu,” kata Hans sambil menuju ke meja makan. Ia menyeruput tehnya, dan memulai sarapan pagi, sendiri. Amy mengikuti. “Aku harus memelihara kucing?” Kali ini suara Amy agak melunak. “No,” Hans menggeleng. Air teh sebentar di mulutnya, yang kemudian masuk lewat kerongkongannya. “Tikus adalah binatang pengerat. Ia selalu mengerat apapun untuk mencegah pertumbuhan giginya. Ya, apapun.” Mengunyah roti. “Lalu kenapa ia selalu mengacak-acak pakaian Erika? Apa yang salah dengan Erika?” Amy mendengus. Nafasnya memburu. Nyeri di hatinya mendengar jawaban Hans. “Mana kutahu?” jawab Hans. “Setidaknya, kamu seharusnya bertindak untuk membasminya, Hans!” “Aku bukan kucing yang memangsa tikus, Amy.” “Huh!! Kau memang tak mau tahu tentang Erika! Sekalipun tak pernah! Karena ia bukan anakmu?!” Memburu. “Amy, mengapa kau selalu berpikir aku tak menyayangi Erika? Hmm... Minumlah dahulu. Kau sangat emosional,” sahut Hans. “Kau yang bisa menjawab, Hans! Namun sikapmu tak menunjukkan itu!” Amy mengambil tehnya, tetapi belum sempat menelannya, ia tersedak ketika Hans balik bertanya kepadanya, “Lalu, siapa yang membayar semua biaya sekolahnya, Amy?” “Kau sangat berubah, Hans! Kau menjadi sungguh matrealistik. Kau tak ingat bagaimana dahulu kau sangat melarat? Lupakah kau, Handoko?!” Amy membanting cangkir di genggamnya. Ia masuk ke dalam, mencari Erika. Acara sarapan pagi dan minum teh, menjadi berantakan, seperti repihan-repihan kaca cangkir itu. Hans menggeleng-geleng kepalanya. “Tak baik mengungkit masa lalu, Amy!” Hans berteriak. Ia rasa, Amy mendengarnya. “Kenyataannya sekarang aku tak lagi mengemis, kan? He, itulah bukti kualitas diri.” Hans berkata pada dirinya sendiri. Hmm, kembali ia meminum tehnya. Tandas. “Akulah pemenangnya, Amy. Dan kita tak lagi pernah mendengar nama Nael.” Hans terkekeh. Demikianlah. Kerja keras, nasib dan keberuntungan telah resmi mengubah segalanya, termasuk juga namanya: Hans. Hanya dua hal yang tak berubah: kemerdekaannya yang ia tak mau hidupnya diatur oleh siapapun, dan cinta abadinya kepada Amy. *** Amy menggandeng Erika. Mereka seolah mematung menatap Hans, menunggu. Tentu saja, Hans merasa aneh diperlakukan seperti itu oleh dua perempuan itu. “Hey, mengapa kalian menatapku seperti itu?” “Erika telah siap berangkat ke sekolah, Hans. Ia tidak ingin terlambat kali ini, dan semoga saja kau bisa mengusahakannya,” kata Amy tajam. Lalu ia membungkuk, pelan ia berkata kepada Erika, “Kau ingin mengatakan sesuatu kepada Ayahmu, Erika?” Erika masih menatap Hans. Ia diam saja. “Katakan saja, Erika,” Amy mendesak. “Aku ingin kau menciumku sebelum aku turun dari mobil, Ayah,” kata Erika. Tanpa menjawab, Hans bergegas masuk ke dalam. Seolah tak menghiraukan Erika. Ia hendak merapikan pakaiannya sebentar, dan mengambil kontak mobil. Erika menunggu. Amy mengusap rambut Erika, dan memastikannya tidak berantakan. Lalu, klakson mobil memberi tanda, bahwa ia harus melepas Erika berangkat ke sekolah. “Nah, kau harus segera berangkat, Erika. Aku harap kau tidak berlama-lama, segeralah turun ketika sudah sampai di depan gerbang sekolah.” “Baiklah, Mama,” sahut Erika pelan. “Tapi, bagaimana jika Ayah masih bersikap seperti yang sudah-sudah?” Amy tak langsung menjawab pertanyaan Erika. Seperti biasa, ia mencium pipi Erika. “Sekarang cium Mama, Erika.” Lembut. Mereka berpelukan sebentar. “Mungkin Ayahmu butuh waktu, Erika.” Amy melepas Erika yang kemudian berjalan ringan menuju mobil. Ia tak mau terlambat, atau membiarkan Ayahnya, Hans, menunggu terlalu lama. Erika sempat melambaikan tangan. Lalu, tak seperti biasanya, pagi itu Erika sempat pula memberi kiss bye kepadanya. Kelihatan sekali, pagi itu Erika lebih riang dari biasanya. Dan itu membuat Amy tersenyum sendirian cukup lama. Hingga mobil itu menghilang dari pandangannya, Amy masih tersenyum sendirian. Barulah Amy segera sadar, ia harus segera meneruskan pekerjaan rumahnya. Ia bergegas masuk ke dalam. Ia masuk melewati pintu, wajah dan senyum Erika masih melintas. Sekilas, wajah dan senyum itu mengingatkan Amy pada lelaki yang ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu, setelah menggerogoti dirinya hingga jatuh dan terpuruk. Amy teringat pada Nael. [] Semarang, 2011

Jumat, 16 Juli 2010

[Meja cerPen #2] Percakapan Bulan dan Bidadari

Percakapan Bulan dan Bidadari
karya: Tri Umi Sumartyarini

Namaku Roro Ayu Hapsari. Dulu, sewaktu kecil Eyang Putri sering mendongengi aku bermacam-macam cerita. Lalu, kala Ia kehabisan bahan cerita, nama ‘Roro Ayu Hapsari’ ku tak luput menjadi judul dongengnya.
“Roro Ayu Hapsari, berbahagialah engkau bocah yang memiliki nama ini,” celoteh Eyang seraya mengelus rambut panjangku.
“Kau tahu? Roro itu artinya pewaris darah biru keraton Mangkunegaran byang ke…..”
Bukan sekali, dua kali Ia lontarkan tentang asal mula nenek moyangku masih keturunan keraton yang kesekian. Entahlah aku lupa.
Berkali-kali Eyang membanggakan sanak saudara kami yang masih berdarah biru, aku tidak begitu menghiraukannya. Karena sampai sebesar ini belum pernah sekalipun kukunjungi keraton tempat cikal bakal darah dagingku dilahirkan.
Satu-satunya tanda bahwa keluarga kami adalah keturunan keraton adalah sebuah foto berbingkai ukiran kuno tergantung di ruang tamu. Di dalam foto itu tergambar perempuan-perempuan bersanggul dan berkebaya sedang berjajar. Di antara para perempuan itu tampak seorang lelaki mengenakan pakaian kebesaran. Sepertinya pakaian raja. Entahlah.
“Aye….ya,, Ayu… tak salah lagi Romomu member nama kau Ayu. Harapannya agar parasmu ayu. Kulitmu kuning langsat, bangkekan nawon kemit, alis nanggal sepisan, untu miji timun, driji mucuk eri, irung…..”
Bla…bla…bla… ah benar-benar sebal aku dicondro seperti itu. Bukan tanpa alasan. Eyang Putri akan menghardikku jika aku pulang bermain dengan warna kulit coklat kehitaman terbakar matahari.
“Ayu! Kau jadi tidak ayu lagi! Kulitmu oh kulitmu hitam terbakar seperti ini! Lelaki mana yang mau menjadi suamimu kelak? Cah wedok ireng jalitheng!”
Lalu, aku tidak diijinkan keluar rumah. Mengunciku di dalam kamar agar aku tidur siang, bermimpi tentang puteri-puteri keraton yang yang menyibukkan diri dengan mempercantik tubuh supaya dijadikan permaisuri sang raja. Kemungkinan paling buruk menjadi selir.
Tapi aku bukan tipe bocah perempuan yang manut dhawuh. Kubuka saja jendela kamar. Menebarkan langkah menuju teman-teman kampung yang lain.
“Hapsari, bocah ayu, itu artinya kecantikanmu menandingi bidadari-bidadari di surga. Maka dengan kecantikanmu itu kau layani suamimu hingga Ia berkata ‘aku sudah puas’. Meskipun kau bidadari, malaikat akan melaknatmu jika suamimu minta dicumbu dan kau tidak mengabulkannya. Peliharalah kesetiaanmu. Niscaya suamimu tidak akan berpaling pada bidadari yang lain. Kalau pun hal itu terjadi, kuatkanlah hatimu. Niatkan jiwa dan ragamu sebagai pengabdian abdimu kepada Tuhan. Suamimu pun boleh menamparmu jika kau berani padanya. Jangan kau tantang suamimu itu. Kalau kau menentangnya, surga akan menjauhi bidadari dari jenis ini.”
Biasanya ketika dongeng sampai pada babak ini, aku sudah mendengkur, mengurai mimpi-mimpi indah di alam lain. Bertanya pada bidadari-bidadari benarkah menjadi bidadari harus menjadi yang Eyang Putri ceritakan.
Namun, dongeng Eyang tidak berhenti ketika aku sudah mulai terlelap. Dongeng akan berlanjut ketika Romo pulang dari kantor dan Ibu menjalankan kepatuhannyauntuk Romo. Ibu akan menyambut Romo di depan rumah, membawakan tas Romo ke dalam, membuatkan secangkir teh manis hangat, dan menyiapkan air hangat untuk mandi. Pada saat seperti inlah waktu yang tepat bagi Eyang meneruskan petuah-petuahnya di alam sadarku.
“Ibumu contoh nyata, Roro Ayu Hapsari. Dialah bidadari itu. Malaikat tidak berani melaknatnya.”

****

Menginjak usia 17, Eyang Putri masih setia mendongengi aku bermacam-macam cerita. Suatu malam ketika aku sedang duduk di bale bambu depan rumah, Eyang Putri menghampiriku. Masih seperti dulu. Ia selalu mengusap rambutku. Membelai pipiku yang mulai ditumbuhi jerawat karena hormon perempuanku sudah mulai menjalankan fungsinya.
“Kau kurang menjaga parasmu, Ayu. Jerawatmu mulai tumbuh disana-sini. Kau tidak cantik.”
Senyuman kecut meriut dari bibirku. Aku diam. Malas menanggapi cemoohan Eyang. Aku lebih tertarik bercumbu dengan cahaya bulan yang berpendar indah menyirami bumi.
“Wanita jawa itu bangkekannya harus nawon kemit. Tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu lebar. Di antara dada dan panggul harus ada lekukannya. Pinggulmu itu, Ayu, lebar tapi tidak ada dagingnya. Buruk pinggulmu itu,” Eyang memegang pinggulku. Lalu menarik kaos oblongku ke belakang hingga membentuk lekukan tubuh.
Masih seperti tadi. Aku tidak tertarik menaggapi aturan-aturan Eyang. Bagiku cahaya bulan terlalu sayang dilewatkan mala mini.
“Dulu, sewaktu kamu masih kecil, kau tak ubahnya kuncup bunga yang sedang menikmati awal keberadaanmu di bumi. Kau masih asyik menimati udara, debu, air, dan sinar matahari. Kuncup bunga masih dibiarkan bergelayut pada tangkainya. Belum ada yang tertarik memperhatikanmu. Keindahan belum muncul pada kuncup bunga.”
Angin berdesir sepoi mengurai satu persatu kata-kata yang baru saja terucap dari bibirnya. Setelah itu hany agetir yang kurasakan. Angin sepoi itu terlalu jauh mengaburkan makna ucapan Eyang.
“Sekarang kau gadis 17 tahun. Kau adalah setangkai bunga yang sedang mekar. Inilah waktumu untuk menebarkan wangi dan menunjukkan keindahan warnamu kepada kumbang. Rawat tubuhmu sebelum kau menyesal, Ayu. Percantik dirimu. Kumbang tidak akan singgah pada bunga yang warnanya kusam.”

Bulan tertutup awan. Cahaya berpendar berganti gelap. Angin masih saja menggoda membelai rambut. Entah dari mana keinginan itu datang. Kali ini aku tertarik menaggapi celotehnya. Sinar bulan tak kuhiaukan lagi. Mataku menatap mata senja Eyang.
“Eyang, aku Roro Ayu Hapsari. Aku tidak bersedia menjadi bunga. Apalah arti sebuah kecantikan kalau hanya karena isapan kumbang akan layu. Apa salahnya jika Ayu ingin menjadi kumbang. Aku bias bebas terbang ke mana saja memilih bunga-bunga mana yang ingin Ayu hinggapi. Aku berani berkeputusan atas diriku…”
Bulan kembali berpendar. Awan menyingkir dari lingkaran cahaya. Aku kembali menikmati cahaya bulan penuh.
“Jangan keras kepala kau Roro Ayu Hapsari. Kau ini wanita. Daya apa yang bias dilakukan wanita kecuali menjadi abdi suami. Lelaki yang berhak memilih kita, camkan itu Ayu! Ini sudah menjadi kuasa alam. Kau akan terkena adzab kalau melanggar kuasa ini. Jangan sekali-kali kau berbicara seperti itu lagi. Bias berbuah bendu. Kau ini tulang rusuk Adam! Racun apa yang telah mengotori otakmu itu?! Jangan-jangan setumpuk buku di lemarimu itu. Aku akan mengadu kepada Romomu!”
Mata senja itu berganti dengan nyala apiyang berkobar. Dari mulutnya keluar serapah yang membuatku tercengang-cengang.
Eyang masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku dalam ketakberdayaan. Tak kusangka, Eyang akan semarah ini padaku. Dari dalam terdengar suara Eyang berteriak-teriak mengadu pada Romo. Dari bale bambu depan rumah, aku melihat bayangan Romo, Ibu dan Eyang masuk ke dalam kamar. Buku-buku tentang perempuan dikeluarkan dari kamar. Dibakar di belakang rumah. Asap membubung. Mengeluarkan aroma abu kertas.
Tidak banyak yang kulakukan malam itu. Aku hanya mengadu pada bulan yang mungkin tersenyum atau mencercaku. Ah… aku tak peduli. Aku masih di sini menikmati bulan, angin dan malam yang semakin larut. Setetes air mengalir dari sudut mataku.
***
Dua bulan sejak Eyang, Romo, dan Ibu membakar buku-buku perempuanku, Eyang meninggal dunia karena stroke. Walaupun sering menceramahiku dengan segala petuahnya, aku tetap sayang kepada Eyang. Aku selalu berusaha menaruh hormat padanya.
Dua tahun berlalu sudah. Kini aku duduk di bangku kuliah. Selain sibuk kuliah, kegiatanku lainnya adalah bergabung dengan sebuah LSM yang bergerak pada perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Romo dan Ibu bukan tidak tahu atas kesibukanku. Mereka lebih memilih pasrah dan membiarkan keputusanku. Sepertinya mereka lebih lunak disbanding Eyang. Toh, aku juga bertanggung jawab atas semua kegiatan yang telah kupilih. Setiap akhir semester aku berusaha mempersembahkan IP (Index Prestasi) terbaik untuk mereka.
Besok adalah hari keberangkatanku menuju Inggris. Nasib baik berpihak padaku. Aku terpilih sebagai salah satu peserta pertukaran mahasiswa yang diselenggarakan oleh kedutaan besar Inggris.
Sebelum hari keberangkatan, aku memutuskan ziarah ke makam Eyang. Setelah kubacakan tahlil dan Yaa sin, kutaburkan sekeranjang bunga di atas pusara makam Eyang. Aku jadi ingat peristiwa dua tahun yang lalu, peristiwa perdebatan tentang bunga dan kumbang.
Aku tersenyum. Dalam hati aku bergumam, “Eyang, ni cucumu Roro Ayu Hapsari. Aku tetap cantik meskipun aku kumbang. Aku masih tetap tidak bersedia menjadi bunga. Biar bunga ini saja yang tetap menjadi bunga. Keyakinanku untuk tetap menjadi kumbang menerbangkan aku ke Inggris besok. Ayu semakin yakin. Menjadi perempuan bukan berarti harus menyandarkan keputusan kepada lelaki. Yang lebih mengetahui atas perempuan adalah perempuan sendiri. Bukan suami maupun malaikat. Jangan khawatir tentang laki-laki yang akan mendampingiku, Eyang. Ayu sudah mempersiapkan laki-laki yang punya dua tangan serta dua kaki utuh. Maka dia tidak akan berteriak-teriak atau mengancam akan memukul istrinya jika sedang tidak bias melayani. Dan yang terpenting, Eyang. Laki-laki ini punya hati nurani. Dia akan berbicara menggunakan hati nuraninya ketika sang istri tidak bersedia mencumbunya. Dia akan bertanya mengapa istrinya tidak bersedia mencumbunya malam itu dengan hati nuraninya, bukan dengan ketololan, kesempitan dan keegoisan pikirannya. Kami berdua adalah kumbang. Tidak ada bunga diantara kami. Bunga bagi kami adalah mimpi-mimpi yang akan dihinggapi bersama-sama. Kami akan menikah setiba dari Inggris setahun mendatang. Mohon doa restunya. Doaku selalu menyertai Eyang.”
Rerumputan bergoyang diterpa angin. Aku beranjak dari makam Eyang, bergegas pulang. Seorang laki-laki pemilik hati nurani itu berdiri tepat di depan pintu makam. Dialah kumbangku. Menyambut dengan sayap-sayap kecilnya. Lalu, sayap-sayap kecil kami pun terkepak menuju cahaya mentari senja.

Selasa, 01 Juni 2010

[Meja cerPen] sidang 1 "Bulan Terlanjur Pecah" karya Khoirul Maftuhah

Bulan terlanjur pecah
Khoerul Maftuhah

Lewat tengah hari, Bulan mencari dirinya. Mencari pecahan tubuhnya yang terlanjur pecah. Di teras rumah, di bawah kolong meja, bahkan di atas bantal dan sprei.

Hujan menitik deras, memayungi desa yang terletak di kaki gunung kidul itu. Bulan masih sibuk mencari pecahan dari tubuhnya. Siang ini, jari-jemarinya pecah dan jatuh di bawah kolong meja. Setelah jari-jarinya ketemu dan berhasil di pasang olehnya. Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai. Hingga utuh seperti semula. Begitulah selalu kehidupan Bulan jika musim penghujan tiba.

Bulan tinggal di daerah pegunungan yang memiliki suhu sangat rendah. Jika musim penghujan tiba, suhunya memang luar biasa dingin. Dan itu akan membuat tubuh Bulan membeku. Dan pecah satu persatu. Tentu saja bukan hal yang wajar. Kejadian itu tak pernah di ketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Termasuk ayah Bulan yang tinggal serumah pun tak pernah tahu akan peristiwa yang ditimpa putri semata wayangnya itu. Sedang Ibunya meninggal 20 tahun yang lalu ketika tengah melahirkan Bulan.

Bulan tidak pernah menceritakan hal itu pada ayahnya. Ia tak akan rela melihat ayahnya menangis melihat keadaannya seperti itu. Ia menyayangi ayahnya lebih dari siapa dan apapun. Dulu, ayahnya adalah seorang penarik becak yang kuat. Tapi semenjak kecelakaan 5 tahun silam itu melumpuhkannya, Ia tak bisa apa-apa lagi selain berbaring dan duduk di atas kursi rodanya. Kedua kakinya terpaksa di amputasi. Sejak saat itu Bulan lah yang mengurus segala keperluan hidup mereka.

Sebagai seorang gadis desa Bulan tengah memasuki usia yang cukup matang untuk menikah. Maka tak jarang para pemuda dari desa seberang maupun satu desa datang untuk melamar Bulan. Pancaran kecantikan luar dan dalam Bulan begitu nampak. Wajahnya selalu bersinar teduh seperti Rembulan di kala purnama. Pantas saja mereka yang melihat Bulan, meski hanya sekali langsung memiliki hasrat untuk meminangnya. Namun tak ada satupun yang menarik hati Bulan. Ia tak kuasa untuk menerima lamaran-lamaran yang datang silih berganti itu.

Sampai pada suatu hari. Mas Dharmo Seorang pengusaha muda terpandang di desanya datang kerumah Bulan dengan membawa perlengkapan pakaian untuk Bulan. Juga Sembako, lengkap dengan makanan instant siap saji, datang kerumah Bulan untuk melamar.

Setelah mandi dengan air hangat bulan mengenakan rok tanggung berwarna hijau tua, dengan baju berwarna hijau muda, rambutnya tergerai lurus. Tanpa rasa canggung Bulan mulai berbincang dengan pengusaha muda kaya tersebut.

Kaca jendela mulai mengembun. Jalanan mulai buram. Tampaknya kabut mulai turun, hujan pun menitik perlahan. Kian lama makin lebat. Bulan menggigil kedinginan. Ia mulai gelisah. Keluar keringat dingin yang kemudian menjadi butiran kristal yang membeku. Lantas jatuh ke tanah dan pecah. Ia tahu sebentar lagi tubuhnya pasti akan membeku. Seperti yang diperkirakan. Tubuhnya mulai tak bisa digerakkan. Tangannya mulai membeku, kepalanya beku, bibirya lebih beku. Kini, total ia tak dapat bergerak. Hanya matanya yang sedikit melirik kearah tamunya. Tangannya jatuh ke tanah dan pecah. Di susul hidung, bibir dan rambutnya. Jatuh ke tanah satu persatu dan pecah.

Mas Dharmo yang melihat hal itu tak bisa berkata apapun. Mulutnya berbentuk oval yang makin terbuka lebar. Rokok yang masih mengepulkan asap di bibirnya jatuh ke tanah. Ia menampar pipinya berulang kali. Berharap bahwa yang di lihatnya hanya mimpi atau khayalan semata. Bulu kuduknya mulai merinding, Ia merasakan sakit atas tamparannya sendiri itu. Ia lari keluar rumah, dan jatuh tersungkur di pelataran. Mencoba berdiri, lantas berlari memasuki mobil yang dikemudikan sopirnya.

Hingga rintik hujan mulai reda, dingin perlahan hilang. Bulan memunguti anggota tubuhnya di lantai satu persatu. Ia memasangnya sesuai tempat semula. Dari arah dapur, Ayahnya tergopoh dengan kursi rodanya. Dengan membawa satu piring kue kering.

“Lho, Mas Dharmo mana? Kok duduk sendirian.” Tanya Ayah sedikit kecewa.
“Sudah pulang Yah…”
“Kenapa?? Kau tolak lagi lamarannya???”
“Tidak Yah….”
“Pasti kamu tolak lagi. Lan…dengarkan Ayah. Sebenarnya kau ini mengiginkan lelaki yang seperti apa? Mumpung Ayah masih hidup, ingin melihatmu menikah bahagia. Kamu satu-satunya putri Ayah. Bahkan Ayah tidak tahu sampai kapan Ayah dapat bertahan hidup. Apa kau tidak ingin melihat Ayah bahagia Nak?” Ayah Bulan mulai terisak.
“Ma’afkan Bulan Ayah…” Air mata bulan pun menetes.

Bulan menggiring kursi roda Ayahnya ke dalam kamar. Setelah meletakkan satu gelas susu di meja Ayahnya, Ia mencoba membujuk Ayahnya untuk beristirahat.

Bulan mengapung dalam kesendirian di teras rumahnya. Air matanya menetes dan menjelma menjadi butiran kristal yang kemudian pecah menghantam ke tanah.

“Ayah….ma’afkan Bulan, Andaikan kau tahu Yah….Bulan yang sekarang bukan Bulan yang dulu lagi. Bulan terlanjur pecah. Bulan harus membeku setiap hujan tiba, dan dingin mulai meraja. Pemuda mana yang bersedia menikah dengan Bulan. Jika keadaan Bulan seperti ini. Aku tahu Ayah, mungkin kau tak akan pernah mengerti kenapa aku jadi seperti ini. Tapi Bulan sendiri tidak tahu kenapa bisa jadi begini. Andaikan Bulan dapat lahir kembali. Ma’afkan Bulan Ayah……”

Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Sembari meremas-remas jari jemarinya. Ingatannya melayang jauh empat tahun silam. Tepat ketika rembulan malam tengah mengapung di pusara langit, sebentuk sabit. Bintang-bintang berpendar seperti titik-titik garam di atas pasir hitam. Di sebuah malam yang telah menghilangkan Purnama, kekasih Bulan.

“Bulan, katakan padaku tentang sebuah cinta.” Kata Purnama.
“Kebekuan.”
“Kenapa?”
“Seperti yang kau ajarkan kepadaku dua hari yang lalu ketika hujan turun, bahwa kebekuan kita, ketika tersentuh cinta yang lain, itulah namanya cinta.”
“Lantas apakah kau akan membeku untukku?”
“Aku mencintaimu, tentu aku bersedia membeku untukmu.”
“Baik, berjanjilah bahwa ketika hujan turun maka kau akan membeku untukku.”
“Aku janji. Tapi kaulah yang akan membuatku jadi hangat. Sehingga ketika aku membeku, maka kau akan datang untuk menghangatkanku“
“Baiklah, aku janji.”
“Tapi Bulan, aku harus pergi sekarang. Kuharap kau baik-baik saja disini. Aku akan kembali bersama rintik hujan untuk menghangatkanmu.”

Sejak malam itu, Purnama tak pernah kembali. Hingga musim hujan tiba di tahun ke-empat. Ia tak pernah kembali kepada Bulan.
***
Musim hujan baru saja tiba di tahun ke-lima. Hujan sehari-hari menjadi sangat akrab di desa Bulan. Bulan pun melewati hari-harinya dengan kebekuan. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Ia tak pernah keluar rumah semenjak kematian ayahnya, ketika musim kemarau tengah menggeragapi desanya. Para pemuda tak lagi hilir mudik melamar Bulan. Mereka tak lagi merasa bahwa Bulan masih hidup.

Bulan hanya duduk diam di kamar. Membeku di bingkai jendela di bawah hujan. Rambutnya, hidungnya, matanya. Perlahan membeku, pecah lantas jatuh satu persatu. Disusul tubuhnya yang juga membeku. Dan pecah berserakan di tanah. Anggota tubuhnya pecah. Hanya hatinya saja yang tidak membeku. Di saat seperti itu, Ia sangat mengharapkan kedatangan Purnama. Yang akan datang bersama hujan untuk menghangatkannya. Hingga bentuknya utuh seperti sediakala. Namun musim hujan tengah memasuki tahun ke-lima. Purnama tak juga datang bersama hujan. Sementara hujan masih memasung tubuh Bulan di dalam kebekuan.

* * *


Semarang, Feb-Maret’10