Minggu, 15 September 2013

Meja Cerpen #7

Cerpen yang bakal dicubit di Meja Cerpen # 7 (Lembah Kelelawar) 

“Hadiah” 
Sutanto Aji. 

Beranda depan rumah sangat ramai dihiasi tanaman, ada juga belukar-belukar yang sengaja bebas tumbuh dengan sesuka. Sesekali dalam satu bulan dibersihkan, dipotong agar beranda terlihat rapi dipandang. Jika memandang memang tidak bosan. Tetapi, saat memandang akan menghasilkan ingatan-ingatan yang rumit dan sangat melelahkan. Karena di setiap tanaman itu ada kenangan tersendiri yang memang indah untuk diingat dan dikenang, meskipun akan menimbulkan air mata yang pasti jatuh. Kenangan itu pun yang membawa sepasang sedjoli Kakek dan Nenek masih tetap bersama dalam keadaan apapun di rumah yang sederhana tapi penuh warna. Dipan yang agak kropos itu menjadi saksi pemandangan Kakek yang selalu menemani Nenek dalam menyirami tanaman yang indah. Sambil membaca koran dan menikmati teh hangat buatan sang Nenek, akan menjadi bagian sempurna dalam menjalani pagi yang begitu dingin dan begitu alami. Dalam keadaan guncang maupun gemuruh, mereka tetap damai. Lelah yang mereka punya diselimuti dengan kekuatan yang cerah. Senyum yang berbohong untuk kebahagiaan. Kebahagiaan yang bertopeng kesedihan. Bukan masalah materi ataupun fisik. Mereka tidak mempunyai anak apalagi cucu. Hari-harinya hanya menunggu uang pensiunan. Mereka bekas pegawai negeri sipil yang mungkin serba kecukupan. Tetapi Saya tidak tahu, mengapa mereka masih tetap sabar, tabah dan saling mencintai. Apa karena uang? Saya sungguh tidak tahu. Yang saya tahu, hanya chemong yang mereka pelihara seperti memilihara anaknya sendiri. Tidak tahu kucing itu berasal dari mana. Chemong itu adalah kucing lucu, berwarna putih dan diiringi warna hitam yang belepotan. Bulunya halus, tidak berantakan dan tidak terlalu gemuk. Dia tidak pernah mencuri ikan atau makanan lainnya. Kalau lapar, hanya berteriak-teriak selayaknya suara kucing yang lain. Dan chemong selalu mengeluarkan jurus manjanya jika lapar, yaitu menempelkan bulunya kekaki Nenek ataupun Kakek. Nenek yang memberinya nama chemong. Saya tidak tahu juga, apakah Ibu dan Bapak saya mengerti tentang Kakek dan Nenek itu? Dari dulu, sewaktu saya masih duduk di bangku sekolah menengah atas, sampai saya keperguruan tinggi, saya selalu melihat mereka berjalan bersama. Merawat bersama. Mungkin mereka takkan pernah lelah. Saya berpikir demikian, saya ingin sekali seperti mereka. Seperti hidup dalam kebahagiaan selamanya. Atau hanya saya yang melihat dari segi bahagianya saja? Ah,,, barangkali tidak. Mungkin, karena mereka saling mengerti dan memahami. Sedangkan bapak dan Ibu saya tidak selamanya seperti mereka. Sedikit-sedikit kalau tidak punya uang, atau ada salah paham, langsung marah-marah. Kemudian bertengkar. Kadang saya juga enggan melihatnya. Tapi…. Ah, apa boleh dikata. Mereka adalah orang tua saya sendiri. Orang tua yang selalu mempunyai cinta dan perhatian sesungguhnya kepada anaknya sendiri. Saya tetap bangga mempunyai orang tua yang selalu sayang kepada saya. Saya pun sayang mereka. Memang, tidak begitu jauh jarak antara rumah saya dengan Kakek dan Nenek. Hanya beberapa ratus meter untuk mencapainya. Kami satu Kecamatan, tapi beda Dusun. Setiap saya ada waktu luang, saya sering mampir mengunjunginya. Sembari mengisi waktu luang saya, saya selalu menempatkan waktu untuk singgah di kediaman mereka. Sambil bermain dengan chemong dan melihat-lihat tanaman hias yang indah. Saya hanya berteman dengan Nenek dan Kakek. Jarang, berteman dengan banyak orang seusia saya. Meskipun saya sudah mempunyai Nenek sendiri, tetapi, saya senang berteman dengan Nenek tetangga desa itu. Bukannya saya tidak suka sama Nenek sendiri. Tapi, saya ingin seperti mereka yang selalu terlihat rukun itu. Terlihat tenang dan damai setiap saya bermain di rumahnya. Kadang saya ingin menggantikan Kakek untuk memijat Nenek yang matanya selalu berkaca-kaca. Entah mengapa saya selalu senang bermain disana? “Bagaimana keadaan chemong Nek?” Gumam saya “Tanamannya tambah ramai juga Nek. Apa Nenek tidak capek merawatnya?” Nenek tersenyum dengan pertanyaan saya yang begitu polos. “Saya tidak akan capek atau bosan merawatnya nak. Seperti Kakek merawat Nenek selama ini.” Seringkali saya meminta maaf kepada Kakek, karena saya tidak bisa membahagiakannya, tetapi Kakek tetap sabar dengan keadaan saya ini nak. Saya merasa bersalah anak manis.” ”Tidak Nek! Nenek tidak pernah salah. Ini mungkin memang sudah kehendakNya. Pasti ada hikmahnya Nek. Nenek seharusnya bangga, mempunyai suami yang benar-benar sayang kepada Nenek.” Saya mencoba menjawab dengan bijak. Nenek selalu mengajari saya beberapa macam pengetahuan dan pengalaman. Nenek sangat baik, dan Kakek juga menyanyanginya. Saya memang bukan siapa-siapa mereka. Saya hanya pengagum kesetiaan mereka. Saya merasa senang bermain bersama Nenek dan Kakek itu. Bukan hanya karena chemong atau tanaman yang indah itu. Tapi, keramahan mereka. Mereka juga menganggap saya sebagai anak yang baik. … Nenek sekarang sakit-sakitan, begitu pula Kakek. Mereka saling merawat satu sama lain. Berkali-kali saya berkunjung, mereka dalam keadaan lemas-lemasan. Siapa yang harus merawat mereka? Saya tidak tahu bagaimana saya harus merawat mereka. Apakah Bapak dan Ibu saya mau merawat mereka? Sungguh kasihan mereka. Seandainya saya sudah selesai menjadi sarjana. Saya tidak ingin pergi ke kota itu lagi, kota yang gemuruh kebisinginan. Teman-teman yang kasar dengan penampilan dan gaya hidup. Dan segalanya yang ada serba mewah dan mahal. Saya belum selesai menjadi sarjana. Tapi, saya sudah tidak ingin pergi ke Kota lagi. Kota itu membosankan bagi saya. Meskipun banyak lowongan pekerjaan yang menjanjikan. “Tolong tahan saya Bu, tolong saya untuk tetap tinggal di Desa ini. Saya ingin merawat Nenek dan Kakek itu. Saya merasa kasihan dan sayang kepada mereka. Mereka tidak ada yang merawat Bu.” Permohonan saya kepada Ibu saya. “Kamu selesaikan dulu kuliahmu, nanti Bapak dan Ibu yang akan merawat Nenek itu, seperti Ibu merawat Nenek kamu sendiri. Kamu tidak usah mikirin Nenek dan Kakek itu lagi. Barangkali saja Nenek itu, mau dirawat sama Ibu. Ibu akan mencoba merayunya. Supaya Kakek dan Nenek itu mau tinggal bersama kami.” Ternyata Ibu baik. Ibu mau menjaga Kakek dan Nenek yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Saya merasa senang dengan kata-kata Ibu yang sungguh bijaksana dan sosial itu. “Terima kasih Bu.” Setiap hari saya selalu bertanya kepada Ibu tentang keadaan Nenek di rumah. Dan Ibu selalu berkata bohong tentang kebaikan Nenek dan Kakek. Supaya saya tidak khawatir memikirkan keadaan di rumah. Ibu membuat saya semangat untuk terus mengejar harapan saya yang kini sudah tertunda. Saya harus bisa menyelesaikan kuliah saya yang begitu sulit ini. Sekarang saya benar-benar serius belajar. Saya ingin cepat-cepat wisuda dan pulang kekampung halaman. Saya ingin melihat keadaan Nenek dan Kakek. Saya selalu berdo’a untuk kesehatan mereka. Tapi akhir-akhir ini, hari demi hari, kabar dari Ibu di rumah tidak mengenakan. Katanya keadaan Nenek malah semakin memburuk. Saya semakin khawatir. Saya ingin Nenek dan Kakek itu melihat saya memakai pakaian wisuda dan mengucapkan selamat buat saya. Alhasil dengan ketekunan dan kesabaran saya dalam menuntut ilmu yang selalu Ibu banggakan itu. Dalam beberapa tahun menjalaninya, Saya sekarang sudah mendapat gelar sarjana pendidikan. Yang lebih bangga lagi ketika Bapak, Ibu, Nenek saya, Kakek dan Nenek tetangga yang dirawat Ibu, itu menyaksikan kebahagian saya. Saya sungguh bahagia. Yang lebih bahagianya lagi, saya mendapat hadiah dari Nenek yang begitu istimewa. Chemong dan tanaman hias. Saya diberi chemong, kucing kesayangan Nenek. Sekarang saya yang harus merawat dan bermain dengan chemong di beranda yang penuh dengan tanaman hias itu. “Makasih Nek.” Apakah sebuah hadiah adalah motivator untuk mendapatkan sesuatu yang sulit untuk dicapainya? Sembari berfikir. 

Sutanto Aji. Sedang belajar di IKIP PGRI Semarang, jurusan pendidikan Biologi. 
Email sutantoaji@ymail.com Hp 085865113394

Tidak ada komentar:

Posting Komentar