Jumat, 16 Juli 2010

[Meja cerPen #2] Percakapan Bulan dan Bidadari

Percakapan Bulan dan Bidadari
karya: Tri Umi Sumartyarini

Namaku Roro Ayu Hapsari. Dulu, sewaktu kecil Eyang Putri sering mendongengi aku bermacam-macam cerita. Lalu, kala Ia kehabisan bahan cerita, nama ‘Roro Ayu Hapsari’ ku tak luput menjadi judul dongengnya.
“Roro Ayu Hapsari, berbahagialah engkau bocah yang memiliki nama ini,” celoteh Eyang seraya mengelus rambut panjangku.
“Kau tahu? Roro itu artinya pewaris darah biru keraton Mangkunegaran byang ke…..”
Bukan sekali, dua kali Ia lontarkan tentang asal mula nenek moyangku masih keturunan keraton yang kesekian. Entahlah aku lupa.
Berkali-kali Eyang membanggakan sanak saudara kami yang masih berdarah biru, aku tidak begitu menghiraukannya. Karena sampai sebesar ini belum pernah sekalipun kukunjungi keraton tempat cikal bakal darah dagingku dilahirkan.
Satu-satunya tanda bahwa keluarga kami adalah keturunan keraton adalah sebuah foto berbingkai ukiran kuno tergantung di ruang tamu. Di dalam foto itu tergambar perempuan-perempuan bersanggul dan berkebaya sedang berjajar. Di antara para perempuan itu tampak seorang lelaki mengenakan pakaian kebesaran. Sepertinya pakaian raja. Entahlah.
“Aye….ya,, Ayu… tak salah lagi Romomu member nama kau Ayu. Harapannya agar parasmu ayu. Kulitmu kuning langsat, bangkekan nawon kemit, alis nanggal sepisan, untu miji timun, driji mucuk eri, irung…..”
Bla…bla…bla… ah benar-benar sebal aku dicondro seperti itu. Bukan tanpa alasan. Eyang Putri akan menghardikku jika aku pulang bermain dengan warna kulit coklat kehitaman terbakar matahari.
“Ayu! Kau jadi tidak ayu lagi! Kulitmu oh kulitmu hitam terbakar seperti ini! Lelaki mana yang mau menjadi suamimu kelak? Cah wedok ireng jalitheng!”
Lalu, aku tidak diijinkan keluar rumah. Mengunciku di dalam kamar agar aku tidur siang, bermimpi tentang puteri-puteri keraton yang yang menyibukkan diri dengan mempercantik tubuh supaya dijadikan permaisuri sang raja. Kemungkinan paling buruk menjadi selir.
Tapi aku bukan tipe bocah perempuan yang manut dhawuh. Kubuka saja jendela kamar. Menebarkan langkah menuju teman-teman kampung yang lain.
“Hapsari, bocah ayu, itu artinya kecantikanmu menandingi bidadari-bidadari di surga. Maka dengan kecantikanmu itu kau layani suamimu hingga Ia berkata ‘aku sudah puas’. Meskipun kau bidadari, malaikat akan melaknatmu jika suamimu minta dicumbu dan kau tidak mengabulkannya. Peliharalah kesetiaanmu. Niscaya suamimu tidak akan berpaling pada bidadari yang lain. Kalau pun hal itu terjadi, kuatkanlah hatimu. Niatkan jiwa dan ragamu sebagai pengabdian abdimu kepada Tuhan. Suamimu pun boleh menamparmu jika kau berani padanya. Jangan kau tantang suamimu itu. Kalau kau menentangnya, surga akan menjauhi bidadari dari jenis ini.”
Biasanya ketika dongeng sampai pada babak ini, aku sudah mendengkur, mengurai mimpi-mimpi indah di alam lain. Bertanya pada bidadari-bidadari benarkah menjadi bidadari harus menjadi yang Eyang Putri ceritakan.
Namun, dongeng Eyang tidak berhenti ketika aku sudah mulai terlelap. Dongeng akan berlanjut ketika Romo pulang dari kantor dan Ibu menjalankan kepatuhannyauntuk Romo. Ibu akan menyambut Romo di depan rumah, membawakan tas Romo ke dalam, membuatkan secangkir teh manis hangat, dan menyiapkan air hangat untuk mandi. Pada saat seperti inlah waktu yang tepat bagi Eyang meneruskan petuah-petuahnya di alam sadarku.
“Ibumu contoh nyata, Roro Ayu Hapsari. Dialah bidadari itu. Malaikat tidak berani melaknatnya.”

****

Menginjak usia 17, Eyang Putri masih setia mendongengi aku bermacam-macam cerita. Suatu malam ketika aku sedang duduk di bale bambu depan rumah, Eyang Putri menghampiriku. Masih seperti dulu. Ia selalu mengusap rambutku. Membelai pipiku yang mulai ditumbuhi jerawat karena hormon perempuanku sudah mulai menjalankan fungsinya.
“Kau kurang menjaga parasmu, Ayu. Jerawatmu mulai tumbuh disana-sini. Kau tidak cantik.”
Senyuman kecut meriut dari bibirku. Aku diam. Malas menanggapi cemoohan Eyang. Aku lebih tertarik bercumbu dengan cahaya bulan yang berpendar indah menyirami bumi.
“Wanita jawa itu bangkekannya harus nawon kemit. Tidak terlalu kecil, tapi juga tidak terlalu lebar. Di antara dada dan panggul harus ada lekukannya. Pinggulmu itu, Ayu, lebar tapi tidak ada dagingnya. Buruk pinggulmu itu,” Eyang memegang pinggulku. Lalu menarik kaos oblongku ke belakang hingga membentuk lekukan tubuh.
Masih seperti tadi. Aku tidak tertarik menaggapi aturan-aturan Eyang. Bagiku cahaya bulan terlalu sayang dilewatkan mala mini.
“Dulu, sewaktu kamu masih kecil, kau tak ubahnya kuncup bunga yang sedang menikmati awal keberadaanmu di bumi. Kau masih asyik menimati udara, debu, air, dan sinar matahari. Kuncup bunga masih dibiarkan bergelayut pada tangkainya. Belum ada yang tertarik memperhatikanmu. Keindahan belum muncul pada kuncup bunga.”
Angin berdesir sepoi mengurai satu persatu kata-kata yang baru saja terucap dari bibirnya. Setelah itu hany agetir yang kurasakan. Angin sepoi itu terlalu jauh mengaburkan makna ucapan Eyang.
“Sekarang kau gadis 17 tahun. Kau adalah setangkai bunga yang sedang mekar. Inilah waktumu untuk menebarkan wangi dan menunjukkan keindahan warnamu kepada kumbang. Rawat tubuhmu sebelum kau menyesal, Ayu. Percantik dirimu. Kumbang tidak akan singgah pada bunga yang warnanya kusam.”

Bulan tertutup awan. Cahaya berpendar berganti gelap. Angin masih saja menggoda membelai rambut. Entah dari mana keinginan itu datang. Kali ini aku tertarik menaggapi celotehnya. Sinar bulan tak kuhiaukan lagi. Mataku menatap mata senja Eyang.
“Eyang, aku Roro Ayu Hapsari. Aku tidak bersedia menjadi bunga. Apalah arti sebuah kecantikan kalau hanya karena isapan kumbang akan layu. Apa salahnya jika Ayu ingin menjadi kumbang. Aku bias bebas terbang ke mana saja memilih bunga-bunga mana yang ingin Ayu hinggapi. Aku berani berkeputusan atas diriku…”
Bulan kembali berpendar. Awan menyingkir dari lingkaran cahaya. Aku kembali menikmati cahaya bulan penuh.
“Jangan keras kepala kau Roro Ayu Hapsari. Kau ini wanita. Daya apa yang bias dilakukan wanita kecuali menjadi abdi suami. Lelaki yang berhak memilih kita, camkan itu Ayu! Ini sudah menjadi kuasa alam. Kau akan terkena adzab kalau melanggar kuasa ini. Jangan sekali-kali kau berbicara seperti itu lagi. Bias berbuah bendu. Kau ini tulang rusuk Adam! Racun apa yang telah mengotori otakmu itu?! Jangan-jangan setumpuk buku di lemarimu itu. Aku akan mengadu kepada Romomu!”
Mata senja itu berganti dengan nyala apiyang berkobar. Dari mulutnya keluar serapah yang membuatku tercengang-cengang.
Eyang masuk ke dalam rumah. Meninggalkan aku dalam ketakberdayaan. Tak kusangka, Eyang akan semarah ini padaku. Dari dalam terdengar suara Eyang berteriak-teriak mengadu pada Romo. Dari bale bambu depan rumah, aku melihat bayangan Romo, Ibu dan Eyang masuk ke dalam kamar. Buku-buku tentang perempuan dikeluarkan dari kamar. Dibakar di belakang rumah. Asap membubung. Mengeluarkan aroma abu kertas.
Tidak banyak yang kulakukan malam itu. Aku hanya mengadu pada bulan yang mungkin tersenyum atau mencercaku. Ah… aku tak peduli. Aku masih di sini menikmati bulan, angin dan malam yang semakin larut. Setetes air mengalir dari sudut mataku.
***
Dua bulan sejak Eyang, Romo, dan Ibu membakar buku-buku perempuanku, Eyang meninggal dunia karena stroke. Walaupun sering menceramahiku dengan segala petuahnya, aku tetap sayang kepada Eyang. Aku selalu berusaha menaruh hormat padanya.
Dua tahun berlalu sudah. Kini aku duduk di bangku kuliah. Selain sibuk kuliah, kegiatanku lainnya adalah bergabung dengan sebuah LSM yang bergerak pada perlindungan dan pemberdayaan perempuan. Romo dan Ibu bukan tidak tahu atas kesibukanku. Mereka lebih memilih pasrah dan membiarkan keputusanku. Sepertinya mereka lebih lunak disbanding Eyang. Toh, aku juga bertanggung jawab atas semua kegiatan yang telah kupilih. Setiap akhir semester aku berusaha mempersembahkan IP (Index Prestasi) terbaik untuk mereka.
Besok adalah hari keberangkatanku menuju Inggris. Nasib baik berpihak padaku. Aku terpilih sebagai salah satu peserta pertukaran mahasiswa yang diselenggarakan oleh kedutaan besar Inggris.
Sebelum hari keberangkatan, aku memutuskan ziarah ke makam Eyang. Setelah kubacakan tahlil dan Yaa sin, kutaburkan sekeranjang bunga di atas pusara makam Eyang. Aku jadi ingat peristiwa dua tahun yang lalu, peristiwa perdebatan tentang bunga dan kumbang.
Aku tersenyum. Dalam hati aku bergumam, “Eyang, ni cucumu Roro Ayu Hapsari. Aku tetap cantik meskipun aku kumbang. Aku masih tetap tidak bersedia menjadi bunga. Biar bunga ini saja yang tetap menjadi bunga. Keyakinanku untuk tetap menjadi kumbang menerbangkan aku ke Inggris besok. Ayu semakin yakin. Menjadi perempuan bukan berarti harus menyandarkan keputusan kepada lelaki. Yang lebih mengetahui atas perempuan adalah perempuan sendiri. Bukan suami maupun malaikat. Jangan khawatir tentang laki-laki yang akan mendampingiku, Eyang. Ayu sudah mempersiapkan laki-laki yang punya dua tangan serta dua kaki utuh. Maka dia tidak akan berteriak-teriak atau mengancam akan memukul istrinya jika sedang tidak bias melayani. Dan yang terpenting, Eyang. Laki-laki ini punya hati nurani. Dia akan berbicara menggunakan hati nuraninya ketika sang istri tidak bersedia mencumbunya. Dia akan bertanya mengapa istrinya tidak bersedia mencumbunya malam itu dengan hati nuraninya, bukan dengan ketololan, kesempitan dan keegoisan pikirannya. Kami berdua adalah kumbang. Tidak ada bunga diantara kami. Bunga bagi kami adalah mimpi-mimpi yang akan dihinggapi bersama-sama. Kami akan menikah setiba dari Inggris setahun mendatang. Mohon doa restunya. Doaku selalu menyertai Eyang.”
Rerumputan bergoyang diterpa angin. Aku beranjak dari makam Eyang, bergegas pulang. Seorang laki-laki pemilik hati nurani itu berdiri tepat di depan pintu makam. Dialah kumbangku. Menyambut dengan sayap-sayap kecilnya. Lalu, sayap-sayap kecil kami pun terkepak menuju cahaya mentari senja.

Selasa, 01 Juni 2010

[Meja cerPen] sidang 1 "Bulan Terlanjur Pecah" karya Khoirul Maftuhah

Bulan terlanjur pecah
Khoerul Maftuhah

Lewat tengah hari, Bulan mencari dirinya. Mencari pecahan tubuhnya yang terlanjur pecah. Di teras rumah, di bawah kolong meja, bahkan di atas bantal dan sprei.

Hujan menitik deras, memayungi desa yang terletak di kaki gunung kidul itu. Bulan masih sibuk mencari pecahan dari tubuhnya. Siang ini, jari-jemarinya pecah dan jatuh di bawah kolong meja. Setelah jari-jarinya ketemu dan berhasil di pasang olehnya. Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai. Hingga utuh seperti semula. Begitulah selalu kehidupan Bulan jika musim penghujan tiba.

Bulan tinggal di daerah pegunungan yang memiliki suhu sangat rendah. Jika musim penghujan tiba, suhunya memang luar biasa dingin. Dan itu akan membuat tubuh Bulan membeku. Dan pecah satu persatu. Tentu saja bukan hal yang wajar. Kejadian itu tak pernah di ketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Termasuk ayah Bulan yang tinggal serumah pun tak pernah tahu akan peristiwa yang ditimpa putri semata wayangnya itu. Sedang Ibunya meninggal 20 tahun yang lalu ketika tengah melahirkan Bulan.

Bulan tidak pernah menceritakan hal itu pada ayahnya. Ia tak akan rela melihat ayahnya menangis melihat keadaannya seperti itu. Ia menyayangi ayahnya lebih dari siapa dan apapun. Dulu, ayahnya adalah seorang penarik becak yang kuat. Tapi semenjak kecelakaan 5 tahun silam itu melumpuhkannya, Ia tak bisa apa-apa lagi selain berbaring dan duduk di atas kursi rodanya. Kedua kakinya terpaksa di amputasi. Sejak saat itu Bulan lah yang mengurus segala keperluan hidup mereka.

Sebagai seorang gadis desa Bulan tengah memasuki usia yang cukup matang untuk menikah. Maka tak jarang para pemuda dari desa seberang maupun satu desa datang untuk melamar Bulan. Pancaran kecantikan luar dan dalam Bulan begitu nampak. Wajahnya selalu bersinar teduh seperti Rembulan di kala purnama. Pantas saja mereka yang melihat Bulan, meski hanya sekali langsung memiliki hasrat untuk meminangnya. Namun tak ada satupun yang menarik hati Bulan. Ia tak kuasa untuk menerima lamaran-lamaran yang datang silih berganti itu.

Sampai pada suatu hari. Mas Dharmo Seorang pengusaha muda terpandang di desanya datang kerumah Bulan dengan membawa perlengkapan pakaian untuk Bulan. Juga Sembako, lengkap dengan makanan instant siap saji, datang kerumah Bulan untuk melamar.

Setelah mandi dengan air hangat bulan mengenakan rok tanggung berwarna hijau tua, dengan baju berwarna hijau muda, rambutnya tergerai lurus. Tanpa rasa canggung Bulan mulai berbincang dengan pengusaha muda kaya tersebut.

Kaca jendela mulai mengembun. Jalanan mulai buram. Tampaknya kabut mulai turun, hujan pun menitik perlahan. Kian lama makin lebat. Bulan menggigil kedinginan. Ia mulai gelisah. Keluar keringat dingin yang kemudian menjadi butiran kristal yang membeku. Lantas jatuh ke tanah dan pecah. Ia tahu sebentar lagi tubuhnya pasti akan membeku. Seperti yang diperkirakan. Tubuhnya mulai tak bisa digerakkan. Tangannya mulai membeku, kepalanya beku, bibirya lebih beku. Kini, total ia tak dapat bergerak. Hanya matanya yang sedikit melirik kearah tamunya. Tangannya jatuh ke tanah dan pecah. Di susul hidung, bibir dan rambutnya. Jatuh ke tanah satu persatu dan pecah.

Mas Dharmo yang melihat hal itu tak bisa berkata apapun. Mulutnya berbentuk oval yang makin terbuka lebar. Rokok yang masih mengepulkan asap di bibirnya jatuh ke tanah. Ia menampar pipinya berulang kali. Berharap bahwa yang di lihatnya hanya mimpi atau khayalan semata. Bulu kuduknya mulai merinding, Ia merasakan sakit atas tamparannya sendiri itu. Ia lari keluar rumah, dan jatuh tersungkur di pelataran. Mencoba berdiri, lantas berlari memasuki mobil yang dikemudikan sopirnya.

Hingga rintik hujan mulai reda, dingin perlahan hilang. Bulan memunguti anggota tubuhnya di lantai satu persatu. Ia memasangnya sesuai tempat semula. Dari arah dapur, Ayahnya tergopoh dengan kursi rodanya. Dengan membawa satu piring kue kering.

“Lho, Mas Dharmo mana? Kok duduk sendirian.” Tanya Ayah sedikit kecewa.
“Sudah pulang Yah…”
“Kenapa?? Kau tolak lagi lamarannya???”
“Tidak Yah….”
“Pasti kamu tolak lagi. Lan…dengarkan Ayah. Sebenarnya kau ini mengiginkan lelaki yang seperti apa? Mumpung Ayah masih hidup, ingin melihatmu menikah bahagia. Kamu satu-satunya putri Ayah. Bahkan Ayah tidak tahu sampai kapan Ayah dapat bertahan hidup. Apa kau tidak ingin melihat Ayah bahagia Nak?” Ayah Bulan mulai terisak.
“Ma’afkan Bulan Ayah…” Air mata bulan pun menetes.

Bulan menggiring kursi roda Ayahnya ke dalam kamar. Setelah meletakkan satu gelas susu di meja Ayahnya, Ia mencoba membujuk Ayahnya untuk beristirahat.

Bulan mengapung dalam kesendirian di teras rumahnya. Air matanya menetes dan menjelma menjadi butiran kristal yang kemudian pecah menghantam ke tanah.

“Ayah….ma’afkan Bulan, Andaikan kau tahu Yah….Bulan yang sekarang bukan Bulan yang dulu lagi. Bulan terlanjur pecah. Bulan harus membeku setiap hujan tiba, dan dingin mulai meraja. Pemuda mana yang bersedia menikah dengan Bulan. Jika keadaan Bulan seperti ini. Aku tahu Ayah, mungkin kau tak akan pernah mengerti kenapa aku jadi seperti ini. Tapi Bulan sendiri tidak tahu kenapa bisa jadi begini. Andaikan Bulan dapat lahir kembali. Ma’afkan Bulan Ayah……”

Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Sembari meremas-remas jari jemarinya. Ingatannya melayang jauh empat tahun silam. Tepat ketika rembulan malam tengah mengapung di pusara langit, sebentuk sabit. Bintang-bintang berpendar seperti titik-titik garam di atas pasir hitam. Di sebuah malam yang telah menghilangkan Purnama, kekasih Bulan.

“Bulan, katakan padaku tentang sebuah cinta.” Kata Purnama.
“Kebekuan.”
“Kenapa?”
“Seperti yang kau ajarkan kepadaku dua hari yang lalu ketika hujan turun, bahwa kebekuan kita, ketika tersentuh cinta yang lain, itulah namanya cinta.”
“Lantas apakah kau akan membeku untukku?”
“Aku mencintaimu, tentu aku bersedia membeku untukmu.”
“Baik, berjanjilah bahwa ketika hujan turun maka kau akan membeku untukku.”
“Aku janji. Tapi kaulah yang akan membuatku jadi hangat. Sehingga ketika aku membeku, maka kau akan datang untuk menghangatkanku“
“Baiklah, aku janji.”
“Tapi Bulan, aku harus pergi sekarang. Kuharap kau baik-baik saja disini. Aku akan kembali bersama rintik hujan untuk menghangatkanmu.”

Sejak malam itu, Purnama tak pernah kembali. Hingga musim hujan tiba di tahun ke-empat. Ia tak pernah kembali kepada Bulan.
***
Musim hujan baru saja tiba di tahun ke-lima. Hujan sehari-hari menjadi sangat akrab di desa Bulan. Bulan pun melewati hari-harinya dengan kebekuan. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Ia tak pernah keluar rumah semenjak kematian ayahnya, ketika musim kemarau tengah menggeragapi desanya. Para pemuda tak lagi hilir mudik melamar Bulan. Mereka tak lagi merasa bahwa Bulan masih hidup.

Bulan hanya duduk diam di kamar. Membeku di bingkai jendela di bawah hujan. Rambutnya, hidungnya, matanya. Perlahan membeku, pecah lantas jatuh satu persatu. Disusul tubuhnya yang juga membeku. Dan pecah berserakan di tanah. Anggota tubuhnya pecah. Hanya hatinya saja yang tidak membeku. Di saat seperti itu, Ia sangat mengharapkan kedatangan Purnama. Yang akan datang bersama hujan untuk menghangatkannya. Hingga bentuknya utuh seperti sediakala. Namun musim hujan tengah memasuki tahun ke-lima. Purnama tak juga datang bersama hujan. Sementara hujan masih memasung tubuh Bulan di dalam kebekuan.

* * *


Semarang, Feb-Maret’10

Senin, 17 Mei 2010

Komunitas Sastra Lembah Kelelawar

adalah komunitas yang ingin mengajak belajar menutup liang kubur dan mencipta surga tersendiri di dalamnya.

Setia Naka Andrian ingin selalu ada untuk komunitas sastra lembah kelelawar

Saya terlahir pada keluarga dan lingkungan yang jauh dari dunia sastra. Saya tidak tahu apa itu puisi, makanan apa sih puisi? Terbuat dari apa sih puisi? Saya tidak tahu sama sekali tentang puisi. Lalu seiring waktu yang terus berjalan dan membuat usia saya semakin bertambah, saya mulai sedikit-sedikit mengenal puisi. Saya mulai mengenal puisi ketika duduk di bangku sekolah dasar. Ketika saya masih duduk di bangku kelas 5 (lima) sekolah dasar, waktu itu saya ditunjuk untuk mengikuti lomba baca geguritan (puisi Jawa) tingkat kecamatan, mewakili SD N Penjalin, Kecamatan Brangsong, Kabupaten Kendal.
Sejak itu pula saya mulai mengenal sedikit tentang “apa itu puisi?” Waktu itu saya menyebut puisi adalah sebagai sebuah ungkapan hati yang ditulis dengan bahasa yang indah. Yang terangkai lewat kata-kata yang enak didengar dan mengandung makna yang dalam dari sang penulis. Hingga saat ini saya masih ingat betul tentang penggalan syair geguritan yang pernah saya baca waktu itu. “Ing pucuking wektu, kumudu kudu dak pilih laku, iki apa iku.” Bagi saya kata-kata itu mengandung arti yang sangat dalam dan masih terngiang hingga saat ini. Tentang seorang manusia yang harus mampu menentukan pilihan dalam hidupnya, karena dalam kehidupan pasti manusia akan dihadapkan pada berbagai pilihan yang harus dan wajib dipilih.
Sejak saat itu pula saya mulai menulis puisi, merangkai kata-kata tentang segala sesuatu yang saya alami pada waktu itu. Ketika saya duduk di bangku kelas 6 (enam) sekolah dasar, saya mulai mengenal cinta. Saya merasa mulai menyukai lawan jenis. Ada satu cewek yang saya suka pada waktu itu. Lalu saya mulai menulis puisi tentang cewek yang saya kagumi tersebut. Tapi dengan bahasa Indonesia, bukan dengan bahasa Jawa tentang geguritan yang mengawali saya mengenal puisi. Karena mungkin bahasa Indonesia lah yang paling dekat dengan diri saya. Walaupun saya tinggal pada sebuah desa yang sebagian besar masyarakatnya pasti menggunakan bahasa Jawa.
Nah, ketika itu pun saya terus-terusan menulis puisi tentang cewek sekelas yang saya kagumi. Tertulis di buku-buku pelajaran, di meja dan kursi sekolah hingga sempat saya tulis di celana seragam sekolah. Alasan saya menulis puisi tersebut karena saya belum berani mengungkapkan isi hati saya terhadap cewek yang saya kagumi tersebut. Entah kenapa dan masalahnya apa saya juga kurang begitu mengerti. Memang cewek itu merupakan seorang cewek yang selau berlangganan peringkat pertama sejak kelas satu sekolah dasar. Saya sempat menjadi peringkat dibawahnya, ketika saya dan cewek tersebut duduk di bangku kelas dua. Tapi seiring dengan kenaikan kelas saya menuju ke kelas yang lebih tinggi, maka semakin merosot pula peringkat/ rangking prestasi saya. Mungkin karena semakin nakal dan semakin jarang belajar karena lebih banyak bermain dari pada membuka buku pelajaran.
Setelah saya berada di bangku sekolah menengah pertama (SMP), tepatnya di SMP N 2 Brangsong, saya mulai lebih mengenal apa itu puisi. Karena saya mendapat materi puisi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Saya terus menulis puisi, bukan karena tugas yang diberikan dari guru tentang tugas menulis puisi, tapi memang kemauan saya sendiri untuk menulis puisi. Mungkin masih sama alasannya kenapa saya menulis puisi, masih sama ketika masih di bangku sekolah dasar. Ketika saya tidak berani mengungkapkan sesuatu secara langsung, maka saya tulis kegelisahan tersebut dalam sebuah puisi. Tapi saat di bangku SMP, saya tidak lagi hanya karena masalah saya ketika tidak berani mengungkapkan perasaan kepada cewek yang saya suka, tetapi juga luapan hati saya kepada orang tua ketika saya dilarang melakukan sesuatu yang saya suka, ketika saya dimarahi ibu karena terlalu banyak bermain dan bandel karena jarang tidur di rumah. Juga kegelisahan saya ketika di sekolah, tentang ketidaksepahaman saya terhadap aturan-aturan sekolah dan keseringan saya mendapat marah setiap pagi karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah/ PR.
Pada waktu SMP, menulis puisi sudah menjadi makanan keseharian dan sudah menjadi menu utama. Walaupun tidak pernah mengikuti lomba-lomba menulis puisi. Entah pada waktu itu tidak ada lomba atau mungkin karena guru saya tidak tahu kalau saya suka menulis puisi. Tapi saya selalu aktif mengirim puisi-puisi saya ke mading sekolah, dan kebetulan setiap saya mengirim, puisi-puisi saya selalu diterbitkan dan di pajang dalam majalah dinding sekolah. Mulai saat itu pula banyak teman-teman yang tahu kalau ternyata saya suka menulis puisi. Walaupun puisinya pun nggak karuhan, bahkan sangat jelek, tapi pada saat itu kelihatannya teman-teman mulai menyukai puisi-puisi saya. Ada juga sebagian teman-teman saya yang meminta untuk dibuatkan puisi, yang katanya ingin dikasihkan kepada cewek. Waktu itu pun saya sangat berhutang budi dan merasa tertolong oleh puisi. Karena saya memberanikan diri untuk menembak cewek dengan bantuan runtutan kata-kata dari sebuah puisi yang saya ciptakan, dan akhirnya juga saya mendapatkan cewek tersebut. Yah, walaupun tidak bertahan lama.
Ketika saya duduk di bangku SMA, tepatnya di SMA N 2 Kendal, kebiasaan menulis puisi masih melekat erat pada diri saya. Kata-kata dan tema yang saya ungkapkan pun menjadi semakin melebar. Dari yang tadinya waktu SD hanya membahas tentang cewek yang saya kagumi dan tak berani mengungkapkannya, dari yang pada saat SMP terlalu sering dimarahi guru dan orang tua, lalu pada waktu SMA saya sudah merambah pada tema yang menyangkut tentang hidup, agama dan ajaran Tuhan serta tuntutan-tuntutan Tuhan terhadap manusia dan juga janji-janji Tuhan.
Sehingga pada waktu saya duduk di bangku kelas 2 (dua) SMA, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia melihat puisi saya, lalu beliau menyukai puisi tersebut dan akhirnya puisi-puisi saya di kirim ke majalah sastra Horison. Akhirnya pun dua puisi saya masuk pada kakilangit majalah sastra Horison edisi XXXXI tahun 2006 dengan membawa nama SMA N 2 Kendal. Puisi saya berjudul “Sesal Kubur” dan “Mengilhami Arti Pagi”. Walaupun puisi yang berjudul “Mengilhami Arti Pagi” tertulis sebagai karya teman sebangku saya, karena mungkin pada waktu itu saya kurang tahu betapa besar arti dari sebuah karya.
Pada waktu kelas 2 (dua) SMA itu pula, kali pertama saya menulis sebuah naskah drama “Otak Generasi Muda”. Saya menyuteradarai serta menjadi salah satu aktornya. Ketika saat itu ada materi drama dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan mendapat tugas menyajikan pementasan drama. Walaupun pada waktu SMA saya tidak mengikuti ekstra kurikuler teater, tetapi saya tetap semangat dan kerja keras dan yakin untuk menulis naskah sendiri, menyuteradarai dan menjadi salah satu aktornya. Dalam pementasan drama tersebut pun terdapat pembacaan puisi karya saya yang berjudul “Limbah Demokrasi”. Dan pada waktu SMA, puisi-puisi saya kerap masuk dan diterbitkan di majalah Ganesa Kabupaten Kendal.
Setelah lulus SMA, saya masuk di perguruan tinggi swasta IKIP PGRI Semarang, tahun 2007. Di kampus tersebut saya bergabung dengan Teater Gema. Di situ saya pernah melakukan sebuah penggarapan teater dalam lakon “Hayalan Padang Tandus”, saya menulis naskah tersebut dan menyuteradarainya. Juga pernah saya melakukan sebuah penggarapan teater dalam kelas yang merupakan tugas mata kuliah, dalam lakon “Negeri Topeng” yang kebetulan naskah dan suteradaranya saya sendiri.
Di kampus IKIP PGRI Semarang, keinginan dan kemauan keras saya untuk terus menulis semakin menggebu-gebu. Saya bertemu dengan orang-orang yang sangat berarti bagi diri saya pribadi. Orang-orang yang selalu memberi semangat dan dukungan terhadap saya. Termasuk dosen saya dan sastrawan serta seniman-seniman yang ada di Semarang. Di kampus ini pun saya mendirikan sebuah komunitas sastra kecil-kecilan, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar. Sehingga saya semakin semangat dan semakin menggandrungi dunia tulis. Hingga puisi-puisi saya sering di muat di koran Suara Kampus IKIP PGRI Semarang, cerpen saya di majalah Vokal IKIP PGRI Semarang. Serta saya pernah mengikuti Lomba Penulisan Karya Sastra SELEKDA (Seleksi Seni Tingkat Daerah) BPSMI Jawa Tengah mewakili IKIP PGRI Semarang. Puisi saya berjudul “Pengajian”, juara 1 menulis puisi Kajur dan HIMA PBSI IKIP PGRI Semarang, Desember 2008, juara 2 menulis cerpen Kajur dan HIMA PBSI IKIP PGRI Semarang, Desember 2008 dan finalis 20 besar g-Mag Presents Telkomsel Writing Awards 2009 - Cerpen Asik, dan cerpen saya yang berjudul “Bukan Jelmaan Adam” yang merupakan karya dari 20 besar finalis dibukukan dalam antologi cerpen “Bila Bulan Jatuh Cinta” penerbit Gradasi Semarang.
Saat ini, tulisan menjadi salah satu bagian dari hidup saya. Merupakan sebuah catatan sejarah hidup saya pribadi dengan orang-orang yang saya cintai, catatan bersama teman-teman saya, orang tua, keluarga, serta kehidupan masyarakat dan juga agama saya, hingga catatan keadaan sosial budaya bangsa dan negara Indonesia.
Setiap kata yang saya tulis saya anggap mempunyai sebuah kekuatan. Memiliki keberadaan yang nyata dan menggembol alasan yang kuat. Dari kata tersebut, lalu berjalan menuju frasa, kalimat, bait, hingga pada sebuah kesatuan tulisan yang utuh. Entah itu puisi, cerpen ataupun naskah drama yang kerap saya tulis. Yang tidak pernah luput dari sebuah pemadatan kata.
Dalam menulis, saya tidak pernah berpikir panjang untuk mengawali sebuah tulisan dan mencari sebuah ide untuk memulai menulis. Yang saya lakukan adalah membunyikan kata, frasa atau kalimat, dan memuntahkan dengan tulus ikhlas kata-kata yang keluar dari hati. Dalam istilah Jawa “Ceplas-ceplos atau clemang-clemong”. Lalu saya perkosa kata-kata itu, hingga terangkai menjadi frasa, kalimat, hingga akhirnya menjadi sebuah kesatuan tulisan yang utuh. Tulisan yang telah melewati sebuah pengendapan dan perenungan.
Saya merupakan seseorang yang suka menulis tetapi tidak begitu suka membaca. Bagi saya membaca adalah melihat keadaan sekeliling saya. Menikmati susah dan senang hidup, merekam segala fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar saya. Sesuatu yang saya rasakan dan sesuatu yang benar-benar saya lakukan, saat saya merasa risau dan gelisah tentang suatu hal dan kejadian yang menimpa diri saya, orang yang saya cinta, orang tua, teman-teman, agama serta sesuatu yang terjadi pada bangsa dan negara ini.
Menulis bagi saya adalah ketika saya merasa tidak puas terhadap sesuatu yang saya dapatkan dalam alam nyata, lalu saya berlari menuju alam hayal, menjadi penguasa dan melampiaskan segala-galanya tentang sesuatu yang hendak saya gapai. Ketika dalam alam nyata saya masih belum merasa puas dan masih selalu kalah. Dan yang terpenting bagi saya, menulis adalah “pakai hati tetapi jangan sampai dimasukkan ke hati.”




Setia Naka Andrian

Meraba Langkah Kreatif [Setia Naka Andrian]

Meraba Langkah Kreatif
Setia Naka Andrian

Mengawali sebuah langkah memang tidak mudah. Pasti akan dihadapkan pada keterbatasan-keterbatasan yang membuat langkah kita menjadi tersendat, terhenti sejenak, bahkan terkadang hingga berhenti total dan tak dapat melangkah. Memang ada kalanya kita terasa kehabisan akal untuk memulainya. Merasa kurang saat mendapatkan sesuatu. Tapi juga kadang kita menggebu-gebu hingga selalu bermunculan ide-ide yang menghentak-hentak hingga semua termuntahkan tanpa batasan-batasan. Nah, bila itu terjadi ada kalanya pula belum tentu ide/ pemikiran yang kita dapatkan dapat menjadi sebuah pemikiran yang cemerlang dan kreatif.
Dalam hal ini, kita tidak boleh hanya diam, hanya menuangkan saja tanpa melewati pengendapan dan perenungan. Maka kita harus mampu menggugat setiap ide-ide yang kita tuangkan tadi. Misalnya dengan melakukan sebuah pembahasan karya/ diskusi kecil-kecilan. Nah, dari itu kita akan mendapatkan semacam pencerahan untuk sedikit menggugat tentang pemikiran/ ide-ide yang kita tuangkan tadi. Jadi tidak semata-mata kita muntah lalu membersihkan muntahan tadi bila telah mengotori lantai atau baju.
Ibaratnya orang muntah tadi, pasti akan terlihat makanan-makanan yang telah kita makan sebelumnya. Entah itu es cendol, bakso, nasi goreng dan makanan-makanan kecil lainnya. Sehingga kita dapat mengupas tentang apa yang telah kita tuangkan benar-benar sebanding dengan apa yang telah kita dapatkan dan yang terekam dalam otak. Entah itu yang diperoleh dari buku-buku tua peninggalan jaman perang Majapahit, entah itu dari buku sisa jaman kolonial Belanda atau mungkin tentang sesuatu yang terekam oleh mata serta yang dialami tiap-tiap individu.
Banyak hal yang dapat kita lakukan dalam penemuan-penemuan ide/ pemikiran cemerlang. Tentunya kita harus yakin terlebih dahulu tentang apa yang akan kita lakukan. Lalu kita membawanya menuju pemahaman yang wajar dan standar dari apa yang kita miliki. Mustahil rasanya bila berpikir muluk-muluk tapi ternyata yang kita tuangkan menjadi sebuah gagasan yang di cap ora karuwan oleh orang-orang yang kita anggap tua atau mungkin yang dituakan dalam bidangnya. Nah, kita perlu berpikir realistis sebagaimana berbalut pada hal-hal yang kita sadari, kita yakini, dan tentang hal-hal terdekat di sekeliling kita. Jadi nggak usah berpikir jauh-jauh sampai nembus langit dan nendang bintang, nanti malah tambah kerepotan lagi ketika mikir ingin turun. Malah bakal tambah lebih sakit bila mungkin nanti terjatuh. Jadi ya sebaiknya kita tuangkan sesuatu yang paling dekat dengan mata kita, hal yang paling kita mengerti dan yang paling akrab pada diri kita.
Memang ada kalanya juga kita harus berpikir jauh. Misalkan tentang kegelisahan-kegelisahan tentang suatu hal yang dianggap tidak masuk akal. Tentang ajaran-ajaran agama yang dirasa kita membingungkan. Lalu kita mencoba untuk mencari jalan keluar untuk mencapai sebuah kebenaran tertentu tentang keberadaan tersebut. Jadi ya semua sah-sah saja. Semua tergantung pada niat dan kehendak. Yang terpenting adalah berani memulai dan berani melangkahkan sedikit demi sedikit walaupun hanya sejengkal.
Nah, ada lagi. Ukuran estetika juga perlu diperhatikan. Ini merupakan sebuah terasi pada beraneka macam sambal. Karena ada rasa tersendiri atas kehadiran terasi tersebut. Kurang bila tanpa itu. Sama halnya ketika menuangkan sesuatu hal, kita wajib memikirkan nilai estetika. Karena tanpa ukuran estetika, sesuatu yang kita tuangkan nampak tak memiliki rasa. Kekuatannya seakan terabaikan bila nilai satu ini tidak diikutsertakan. Dan mungkin akan jadi bahan cemoohan. Walaupun disamping itu kita juga harus memikirkan tentang gagasan dan tema yang akan kita tuangkan.
Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan? Bergegas cuci kaki tangan dan mengelap muka lalu tidur? Ataukah kita akan mengelelawar dan menjadi penguasa malam atas kehendak-kehendak aneh serta kegelisahannya?
Yah, yang terpenting ya kita harus berani dan rela mati-matian saja untuk terus berkarya. Kalau kita sudah benar-benar yakin dan merasa ingin berjalan pada dunia gores-menggores ini. Kata orang, ibaratnya kalau sudah terlanjur basah setengah badan ya nyebur saja biar basah semua. Tapi bagi saya pribadi ya mending jangan nyebur, bukannya takut air atau pemalas mandi. Mending kita siapkan perahu untuk berlayar diatas air tadi, lalu kita akan melihat orang-orang yang serba kebasahan. Kita paham tentang air itu, kita tetap akrab dengan air itu, tanpa kita harus nyebur dan serba kebasahan.
Intinya ya bekerja cerdas, bukan bekerja keras.