Selasa, 01 Juni 2010

[Meja cerPen] sidang 1 "Bulan Terlanjur Pecah" karya Khoirul Maftuhah

Bulan terlanjur pecah
Khoerul Maftuhah

Lewat tengah hari, Bulan mencari dirinya. Mencari pecahan tubuhnya yang terlanjur pecah. Di teras rumah, di bawah kolong meja, bahkan di atas bantal dan sprei.

Hujan menitik deras, memayungi desa yang terletak di kaki gunung kidul itu. Bulan masih sibuk mencari pecahan dari tubuhnya. Siang ini, jari-jemarinya pecah dan jatuh di bawah kolong meja. Setelah jari-jarinya ketemu dan berhasil di pasang olehnya. Giliran rambut-rambutnya membeku dan mulai pecah satu persatu. Dan berserakan di lantai. Ia segera meraih handuk dan melilitkan ke kepalanya yang sudah tak berambut lagi. Jika kepalanya sudah mulai hangat maka Ia akan memasang kembali rambut-rambut hitam panjangnya helai demi helai. Hingga utuh seperti semula. Begitulah selalu kehidupan Bulan jika musim penghujan tiba.

Bulan tinggal di daerah pegunungan yang memiliki suhu sangat rendah. Jika musim penghujan tiba, suhunya memang luar biasa dingin. Dan itu akan membuat tubuh Bulan membeku. Dan pecah satu persatu. Tentu saja bukan hal yang wajar. Kejadian itu tak pernah di ketahui oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Termasuk ayah Bulan yang tinggal serumah pun tak pernah tahu akan peristiwa yang ditimpa putri semata wayangnya itu. Sedang Ibunya meninggal 20 tahun yang lalu ketika tengah melahirkan Bulan.

Bulan tidak pernah menceritakan hal itu pada ayahnya. Ia tak akan rela melihat ayahnya menangis melihat keadaannya seperti itu. Ia menyayangi ayahnya lebih dari siapa dan apapun. Dulu, ayahnya adalah seorang penarik becak yang kuat. Tapi semenjak kecelakaan 5 tahun silam itu melumpuhkannya, Ia tak bisa apa-apa lagi selain berbaring dan duduk di atas kursi rodanya. Kedua kakinya terpaksa di amputasi. Sejak saat itu Bulan lah yang mengurus segala keperluan hidup mereka.

Sebagai seorang gadis desa Bulan tengah memasuki usia yang cukup matang untuk menikah. Maka tak jarang para pemuda dari desa seberang maupun satu desa datang untuk melamar Bulan. Pancaran kecantikan luar dan dalam Bulan begitu nampak. Wajahnya selalu bersinar teduh seperti Rembulan di kala purnama. Pantas saja mereka yang melihat Bulan, meski hanya sekali langsung memiliki hasrat untuk meminangnya. Namun tak ada satupun yang menarik hati Bulan. Ia tak kuasa untuk menerima lamaran-lamaran yang datang silih berganti itu.

Sampai pada suatu hari. Mas Dharmo Seorang pengusaha muda terpandang di desanya datang kerumah Bulan dengan membawa perlengkapan pakaian untuk Bulan. Juga Sembako, lengkap dengan makanan instant siap saji, datang kerumah Bulan untuk melamar.

Setelah mandi dengan air hangat bulan mengenakan rok tanggung berwarna hijau tua, dengan baju berwarna hijau muda, rambutnya tergerai lurus. Tanpa rasa canggung Bulan mulai berbincang dengan pengusaha muda kaya tersebut.

Kaca jendela mulai mengembun. Jalanan mulai buram. Tampaknya kabut mulai turun, hujan pun menitik perlahan. Kian lama makin lebat. Bulan menggigil kedinginan. Ia mulai gelisah. Keluar keringat dingin yang kemudian menjadi butiran kristal yang membeku. Lantas jatuh ke tanah dan pecah. Ia tahu sebentar lagi tubuhnya pasti akan membeku. Seperti yang diperkirakan. Tubuhnya mulai tak bisa digerakkan. Tangannya mulai membeku, kepalanya beku, bibirya lebih beku. Kini, total ia tak dapat bergerak. Hanya matanya yang sedikit melirik kearah tamunya. Tangannya jatuh ke tanah dan pecah. Di susul hidung, bibir dan rambutnya. Jatuh ke tanah satu persatu dan pecah.

Mas Dharmo yang melihat hal itu tak bisa berkata apapun. Mulutnya berbentuk oval yang makin terbuka lebar. Rokok yang masih mengepulkan asap di bibirnya jatuh ke tanah. Ia menampar pipinya berulang kali. Berharap bahwa yang di lihatnya hanya mimpi atau khayalan semata. Bulu kuduknya mulai merinding, Ia merasakan sakit atas tamparannya sendiri itu. Ia lari keluar rumah, dan jatuh tersungkur di pelataran. Mencoba berdiri, lantas berlari memasuki mobil yang dikemudikan sopirnya.

Hingga rintik hujan mulai reda, dingin perlahan hilang. Bulan memunguti anggota tubuhnya di lantai satu persatu. Ia memasangnya sesuai tempat semula. Dari arah dapur, Ayahnya tergopoh dengan kursi rodanya. Dengan membawa satu piring kue kering.

“Lho, Mas Dharmo mana? Kok duduk sendirian.” Tanya Ayah sedikit kecewa.
“Sudah pulang Yah…”
“Kenapa?? Kau tolak lagi lamarannya???”
“Tidak Yah….”
“Pasti kamu tolak lagi. Lan…dengarkan Ayah. Sebenarnya kau ini mengiginkan lelaki yang seperti apa? Mumpung Ayah masih hidup, ingin melihatmu menikah bahagia. Kamu satu-satunya putri Ayah. Bahkan Ayah tidak tahu sampai kapan Ayah dapat bertahan hidup. Apa kau tidak ingin melihat Ayah bahagia Nak?” Ayah Bulan mulai terisak.
“Ma’afkan Bulan Ayah…” Air mata bulan pun menetes.

Bulan menggiring kursi roda Ayahnya ke dalam kamar. Setelah meletakkan satu gelas susu di meja Ayahnya, Ia mencoba membujuk Ayahnya untuk beristirahat.

Bulan mengapung dalam kesendirian di teras rumahnya. Air matanya menetes dan menjelma menjadi butiran kristal yang kemudian pecah menghantam ke tanah.

“Ayah….ma’afkan Bulan, Andaikan kau tahu Yah….Bulan yang sekarang bukan Bulan yang dulu lagi. Bulan terlanjur pecah. Bulan harus membeku setiap hujan tiba, dan dingin mulai meraja. Pemuda mana yang bersedia menikah dengan Bulan. Jika keadaan Bulan seperti ini. Aku tahu Ayah, mungkin kau tak akan pernah mengerti kenapa aku jadi seperti ini. Tapi Bulan sendiri tidak tahu kenapa bisa jadi begini. Andaikan Bulan dapat lahir kembali. Ma’afkan Bulan Ayah……”

Ia berbicara dengan dirinya sendiri. Sembari meremas-remas jari jemarinya. Ingatannya melayang jauh empat tahun silam. Tepat ketika rembulan malam tengah mengapung di pusara langit, sebentuk sabit. Bintang-bintang berpendar seperti titik-titik garam di atas pasir hitam. Di sebuah malam yang telah menghilangkan Purnama, kekasih Bulan.

“Bulan, katakan padaku tentang sebuah cinta.” Kata Purnama.
“Kebekuan.”
“Kenapa?”
“Seperti yang kau ajarkan kepadaku dua hari yang lalu ketika hujan turun, bahwa kebekuan kita, ketika tersentuh cinta yang lain, itulah namanya cinta.”
“Lantas apakah kau akan membeku untukku?”
“Aku mencintaimu, tentu aku bersedia membeku untukmu.”
“Baik, berjanjilah bahwa ketika hujan turun maka kau akan membeku untukku.”
“Aku janji. Tapi kaulah yang akan membuatku jadi hangat. Sehingga ketika aku membeku, maka kau akan datang untuk menghangatkanku“
“Baiklah, aku janji.”
“Tapi Bulan, aku harus pergi sekarang. Kuharap kau baik-baik saja disini. Aku akan kembali bersama rintik hujan untuk menghangatkanmu.”

Sejak malam itu, Purnama tak pernah kembali. Hingga musim hujan tiba di tahun ke-empat. Ia tak pernah kembali kepada Bulan.
***
Musim hujan baru saja tiba di tahun ke-lima. Hujan sehari-hari menjadi sangat akrab di desa Bulan. Bulan pun melewati hari-harinya dengan kebekuan. Pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Ia tak pernah keluar rumah semenjak kematian ayahnya, ketika musim kemarau tengah menggeragapi desanya. Para pemuda tak lagi hilir mudik melamar Bulan. Mereka tak lagi merasa bahwa Bulan masih hidup.

Bulan hanya duduk diam di kamar. Membeku di bingkai jendela di bawah hujan. Rambutnya, hidungnya, matanya. Perlahan membeku, pecah lantas jatuh satu persatu. Disusul tubuhnya yang juga membeku. Dan pecah berserakan di tanah. Anggota tubuhnya pecah. Hanya hatinya saja yang tidak membeku. Di saat seperti itu, Ia sangat mengharapkan kedatangan Purnama. Yang akan datang bersama hujan untuk menghangatkannya. Hingga bentuknya utuh seperti sediakala. Namun musim hujan tengah memasuki tahun ke-lima. Purnama tak juga datang bersama hujan. Sementara hujan masih memasung tubuh Bulan di dalam kebekuan.

* * *


Semarang, Feb-Maret’10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar